Jelaskan Sebab-Sebab Terjadinya Korupsi di Indonesia dan Mengapa Kasus Korupsi Tidak Berkurang
INIRUMAHPINTAR.COM - Jelaskan sebab-sebab terjadinya korupsi di Indonesia dan mengapa kasus korupsi tidak berkurang? Sebelum kita membahas tentang sebab-sebab terjadinya korupsi, sebaiknya kita pahami dulu, apa itu korupsi? apakah sama dengan mencuri? atau seperti apa sebenarnya? Yuk, mari langsung saja kita bahas secara lebih detail dan terperinci. Agar lebih paham, artikel inirumahpintar.com juga menyertakan contoh-contoh atau ilustrasi kasus yang biasa dan pernah terjadi.
Apa yang dimaksud Korupsi?
Korupsi adalah sebuah tindak kejahatan atau pidana yang berlaku bagi pejabat atau pegawai pemerintah, politisi, pejabat publik, wakil rakyat, penegak hukum, dan pihak-pihak lain yang terkait dengan upaya memanfaatkan kekuasaan, menyalahgunakan kepercayaan rakyat yang diwakilkan kepadanya serta melalui kebijakannya berusaha secara sadar ingin memperkaya diri dengan mendapatkan keuntungan sepihak dari uang rakyat yang dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi dan pada umumnya dilaksanakan secara berkongsi serta terlaksana secara sistematis atau memiliki pola.
Korupsi adalah kejahatan level tinggi, karena merugikan negara dan masyarakat. Korupsi merupakan upaya kejahatan yang menyerupai mencuri, tapi nilai dan angka pencurian memiliki kuantitas besar. Hukumannya seumur hidup atau minimal 4 tahun. Yah, tetapi karena kejahatan korupsi ini luar biasa, hukuman mati pun sesungguhnya sangat wajar agar tercipta efek jera.
Korupsi adalah perbuatan sangat hina dan orang-orang yang melakukannya pasti bukanlah orang-orang yang berjiwa nasionalisme, kebanyakan tipe-tipe hedonis, egois, dan ingin kaya dan menang sendiri bersama kelompoknya.
Korupsi merusak sendi-sendi keutuhan bangsa. Negara pincang karena korupsi. Kekuatan pembangunan yang seharusnya berjalan 100 persen, dikorting membabi buta oleh pelaku korupsi, demi keuntungan sepihak tanpa memikirkan nasib rakyat di bawah sana.
Sebab-sebab Terjadinya Korupsi di Indonesia
Berikut ini redaksi inirumahpintar.com menyajikan sebab-sebab terjadinya korupsi di Indonesia dan mengapa kasus korupsi kian hari justru makin bertambah serta tidak menunjukkan tanda-tanda kasus kejahatan tingkat tinggi ini punah atau berkurang di tanah air kita, Indonesia:
1. Mau cepat kaya, meski prosesnya salah
2. Ingin segera mengembalikan modal kampanye sebelum menjabat
3. Tergoda punya uang banyak dari proyek-proyek pemerintah
4. Dapat tekanan dari partai atau kelompoknya untuk memperkaya diri
5. Tingginya gengsi duniawi yang tidak diimbangi kekuatan iman dan hati nurani
6. Adanya celah birokrasi yang memungkinkan terjadinya korupsi
7. Lemahnya penegakan hukum dan terjadinya sistem tebang pilih
8. Lemahnya integritas dan ide-ide cemerlang pemimpin dalam pemberantasan korupsi
9. Terjadinya pelemahan terhadap lembaga independen pemberantasan korupsi
10. Kurangnya dukungan wakil rakyat dalam penyusunan undang-undang penguatan pemberantasan kasus korupsi
11. Terjadinya kasus korupsi berantai dan turun-temurun di level pemerintah sehingga mereka selalu menutup upaya pemberantasan korupsi
12. Sudah dibutakan hatinya dan lupa atas balasan akhirat yang amat pedih dan abadi
13. Memang sudah diniatkan oleh sang koroptur sebelum ia menjabat, ingin mencari keuntungan terlarang dari uang rakyat dengan menghalalkan segala cara
14. Kurang mensyukuri penghasilan yang ia peroleh
15. Adanya tuntutan terlarang dari istri, anak-anak, atau pihak ketiga dalam keluarga
Nah, sekarang mari kita bahas satu-persatu sebab-sebab terjadinya korupsi di Indonesia dan mengapa kasus korupsi tersebut terus bertambah namun penangannya makin lambat, entah kapan akan bisa terkendali dan berkurang atau bahkan hilang dari bangsa ini.
1. Mau cepat kaya meski prosesnya salah
Keinginan untuk cepat kaya mendorong niat jahat. Ketika telah menjabat, semua peluang-peluang mendapatkan komisi atau keuntungan dari berbagai program departemen yang dikepalai tidak lepas dari pantauan. Jika ada peluang, langsung dimanfaatkan.
Dana 100 juta dapat tersalur 90 juta saja atau bahkan di bawahnya lalu dilaporkan terlaksana 100 juta. Sungguh sebuah proses yang menjijikkan lagi hina.
2. Ingin segera mengembalikan modal kampanye sebelum menjabat
Adanya modal kampanye yang tinggi sebelum calon pemimpin atau wakil rakyat menjabat, mulai dari tingkat desa hingga level negara memberikan stimulus untuk mencari-cari cara agar modal kampanye yang pernah digunakan dapat segera tergantikan meski dengan cara-cara haram ketika telah menjabat.
Setiap kali ada proyek pemerintah, atau tender-tender yang ada nilai uang di dalamnya (meski itu uang rakyat sebenarnya), oknum koruptor ini pasti ikut bermain dan menghalalkan segala cara agar dapat memperoleh cipratan-cipratan keuntungan buat dirinya atau bersama kelompoknya.
3. Tergoda punya uang banyak dari proyek-proyek pemerintah
Godaan selalu ada buat semua kalangan, bukan hanya bagi pejabat tinggi, tetapi rakyat biasa pun sama. Godaan ada dimana-mana meski levelnya beda-beda. Hanya saja, mereka yang punya jabatan dan mendapat kepercayaan rakyat agar melayani rakyat dan mengabdikan ilmu, tenaga, dan potensinya buat kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat tidak sedikit yang tergoda untuk menyalahgunakan jabatan.
Mereka tergoda untuk mendapatkan komisi dari proyek-proyek pemerintah yang nilainya di atas rata-rata. Dengan kekuatan jabatan yang ia pegang, adanya kemampuan meloloskan atau memudahkan pengurusan tender hingga penyelenggaraan proyek.
Terjadilah transaksi terlarang sebelum proyek tersebut terlaksana. Pihak kontraktor menawarkan angka tertentu + komisi kepada sang pejabat, dan pejabat pun tergoda karena ingin segera punya kemewahan dan uang banyak tanpa kerja banyak.
4. Dapat tekanan dari partai atau kelompoknya untuk memperkaya diri
Tidak bisa dipungkiri, di negeri ini, sudah rahasia umum, bahwa setiap wakil partai yang memenangkan pilkada atau pemilu di setiap wilayah atau di tingkat negara, mendapat kewajiban untuk menyetor "amplop" kepada partai atau kelompok politik yang mendukungnya sebelum naik tahta.
Nah, karena adanya proses tawar-menawar politik ini, maka terjadilah yang seharusnya tidak terjadi. Korupsi adalah pilihan atas tekanan. Uang rakyat jadi korban, proyek tak berjalan maksimal, pelayanan publik menjadi kacau-balau, dan pembangunan melambat, karena dana yang seharusnya cukup untuk mentalangi sebuah fasilitas umum, misalnya, harus terkorting atau terminimalisasi dari segi pendanaan dan pengerjaan, tetapi tepat dilaporkan terlaksana 100%.
Selain itu, korupsi dari tekanan partai ini juga terkadang memang merupakan kesepakatan terlarang sejak partai tersebut terbentuk. Isinya adalah orang-orang yang memang bukan memikirkan kepentingan rakyat, mereka hanya menampakkan kepalsuan di mata rakyat, bersembunyi di balik motto, visi-misi partai yang kelihatannya pro-rakyat, tetapi aslinya mereka menyimpan niat busuk mengambil keuntungan dari rakyat bagaimanapun caranya.
Asli, oknum-oknum seperti ini bukan hanya busuk hatinya, melainkan busuk segala-galanya, bahkan aura wajahpun tak bisa berbohong. Sinar matanya gelap, bahasanya penuh keangkuhan, dan garis-garis mukanya menyiratkan kepalsuan dan kebohongan. Hanya saja, ia pandai berkilah dengan kata-kata manis. Meski sangat mudah terbaca, oleh orang-orang pilihan.
5. Tingginya gengsi duniawi yang tidak diimbangi kekuatan iman dan hati nurani
Gengsi memang merusak keseimbangan hati dan penghidupan. Gengsi mengubah ketidakmampuan menjadi pura-pura mampu tapi menyulitkan duri.
Gengsi merusak sendi-sendi kenormalan hidup menjadi kelihatan lebih dari sebelumnya, tetapi di belakang layar ada sesuatu yang menghantui.
Harta dikumpul dari korupsi, demi memuaskan gengsi, membeli apapun yang diingini meski bukan kebutuhan. Hanya sekadar memuaskan nafsu gengsi.
6. Adanya celah birokrasi yang memungkinkan terjadinya korupsi
Celah birokrasi saat pengurusan suatu tender antara program pemerintah dan kontraktor atau penyedia produk/jasa masih ada dan sepertinya dipertahankan untuk tetap ada.
Celah ini dimanfaatkan oleh oknum penguasa atau pejabat tinggi yang tidak bertanggung jawab dan lemah iman.
Mereka bersekongkol menembus jalur birokrasi, ada tawar-menawar, demi keuntungan sekejap. Mereka mengorbankan pembangunan fasilitas umum, atau program bantuan pemerintah, sebut saja bansos di tengah pandemi, juga ada seperti itu demi mendapatkan pundi-pundi keuntungan yang tidak bernilai receh, tetapi harta yang membukit.
Program 1 M terkorting hingga 700-500 juta saja. Lalu dilaporkan terlaksana 1 M, sisanya masuk kantong pejabat dan pihak yang diajak kerjasama. Yah, begitulah birokrasi. Mungkin perlu transparansi, berbentuk online misalnya, agar semua orang dapat memantau dan mengontrol kerja orang-orang yang mereka beri kepercayaan.
7. Lemahnya penegakan hukum dan terjadinya sistem tebang pilih
Penegakan hukum adalah tonggak terciptanya rasa jera, takut, dan memudarnya keinginan tidak melakukan kejahatan bagi pelaku korupsi, dan kriminal lainnya.
Ketika hukum ditegakkan seadil-adilnya tanpa pandang bulu, maka angka korupsi pasti menurun hingga sampai di level zero case.
Dan memang begitulah seharusnya hukum. Menghukum yang salah, dan membebaskan yang tidak salah. Memberi hukuman berar bagi pelaku kejahatan berat dan hukuman ringan bagi pelaku kriminal ringan. Intinya tidak ada tebang pilih.
Jika penegakan hukum dan sistem tebang pilih ini masih terjadi, maka jangan heran korupsi marajalela, toh mereka dihukum penjara, tapi hidup bagaikan di hotel bintang 5 dengan beragam fasilitas, menikmati uang hasil korupsi sambil ongkang-ongkang kaki, hingga masa tahanan usai lalu keluar bak Raja yang punya harta banyak dan modal. Siapa coba yang jera korupsi kalau masih bisa begini?
Jadi, sekali lagi, penegakan hukum mestilah dibuktikan dan diterapkan. Kalau tidak, ujung-ujungnya rakyat jelata yang kena imbas, koruptor dihukum ringan, diperlakukan spesial, sementara pencuri kayu bakar atau sepotong roti pun ( terpaksa karena dilanda kelaparan) dihukum sama dengan koruptor + mendapat bogem mentah karena status sosial yang dianggap tak punya kekuatan. Sungguh terlalu!
8. Lemahnya integritas dan ide-ide cemerlang pemimpin dalam pemberantasan korupsi
Pemimpin adalah puncak segala kebijakan dalam suatu negara. Pemimpin itu mulai dari tingkat RT/RW hingga tingkat presiden. Lemahnya integritas dan ide-ide cemerlang seorang pemimpin membuka ruang besar bagi calon-calon koruptor menjalankan aksi terlarangnya. Terutama pemimpin di level nasional ya. Karena yang berpeluang korupsi ada di level ini.
Tanpa adanya kebijakan tegas dan pro pemberantasan korupsi, pemimpin sebuah negara akan terus kecolongan. Uang yang dikumpulkan dari pungutan jerih payah rakyat jelata, terancam dikuliti oleh oknum-oknum pejabat tidak bertanggung jawab.
Terlebih lagi jika pemimpin tersebut malah membuat keputusan yang menyiratkan pelemahan terhadap lembaga independen pemberantasan korupsi yang diikuti dengan penyingkiran secara halus orang-orang berintegritas yang selama ini mengungkap banyak kasus korupsi kelas kakap.
Malah jika pemimpin tampil lemah di pemberantasan korupsi, seakan-akan ada indikasi bahwa ia pun masuk dalam lingkaran korupsi sistemik ini. Dan tentu saja, ini pertanda suatu negara dalam bahaya. Ada permainan cantik menjajah negeri sendiri. Sungguh mengerikan dan yah, jika itu terjadi, ada masa semua berbalik pada hari-hari tua yang menyedihkan + balasan akhirat yang sungguh amat pedih.
9. Terjadinya pelemahan terhadap lembaga independen pemberantasan korupsi
Yah, ini sebagian sudah di bahas di atas, tetapi disempurnakan di bagian ini. Ketika suatu negara yang pada mulanya selalu mengungkap kasus besar, dan pasti tertangkap hingga mendapat hukuman yang setimpal, lalu tiba-tiba entah ada angin apa, dewan perwakilan rakyatnya gerah mengawasi dan bersuara, didukung pihak pemerintahnya yang tiba-tiba buat kebijakan mengikat.
Dan dalam waktu tidak lama, aturannya pemberantasan korupsinya diperbaharui, yang intinya pemberantasan korupsi dibuat semakin ribet dan memungkinkan terjadinya kebocoran informasi tangkap tangan atau makin sulitnya menangkap seorang koruptor yang berjabatan tinggi.
Belum cukup hanya itu, orang-orang berintegritas dan tak pernah punya catatan melanggar kode etik pekerjaannya dalam memberantas korupsi juga dicari-carikan cara agar lepas dari lembaga pemberantasan korupsi, entah dengan mencari-cari kasus-kasus yang sepertinya sangat tidak wajar atau dengan membuatkan kasus fitnah yang seakan-akan benar terjadi.
Yah, intinya perang melawan korupsi tidaklah mudah, karena yang dihadapi adalah orang-orang yang punya kekuatan politik dan pengaruh besar di pemerintahan.
Jadi, mau tidak mau negara yang kuat harus mempertahankan eksistensi lembaga independen pemberantasan korupsinya, yang dipimpin oleh pemimpin yang terbukti berintegritas, bukan malah sekutu koruptor yang berpura-pura bekerja memberantas korupsi.
10. Kurangnya dukungan wakil rakyat dalam penyusunan undang-undang penguatan pemberantasan kasus korupsi
Wakil rakyat dipilih oleh rakyat agar dapat berpihak kepada rakyat. Namun, kenyataannya, tidak sedikit juga wakil rakyat yang ketika telah duduk di singgasana kekuasaan, malah lupa semua janji-janji politiknya.
Hingga kemudian berusaha memperkaya diri dengan melakukan kecurangan hingga korupsi.
Dan agar aksinya tidak sampai tercium oleh pihak berwajib, bermainlah ia dengan kekuasaannya, disusunlah Undang-Undang yang memperkecil ruang pengawasan lembaga pemberantasan korupsi terhadapnya.
Dengan segala kata-kata manis dan penegasan argumen di media massa, mengatakan bahwa undang-undang yang dibuatnya pro-rakyat, tapi sebenarnya secara halus dan tersirat, kebijakan itu lebih pro ke koruptor. Hmm..yang lebih parah, pemerintah dan wakil rakyat menunjukkan persekongkolan di belakang layar, tapi kepekaan hati rakyat masih bisa merasakannya, hanya tak ada kuasa untuk melawan.
Hanya bisa mengelus dada, bersabar dan menentang halus dengan selemah-lemahnya iman, berupa doa. Semoga wakil rakyat yang nakal segera dibukakan pintu hatinya agar berpihak kepada rakyat, dan tidak melakukan kejahatan luar biasa seperti korupsi.
11. Terjadinya kasus korupsi berantai dan turun-temurun di level pemerintah sehingga mereka selalu menutup upaya pemberantasan korupsi
Ketika suatu pemerintahan terlanjur terjebak dan tergoda melakukan korupsi, lalu melibatkan banyak oknum tak bertanggung jawab di dalamnya, sungguh, negara dibuat dalam bahaya.
Jangan berharap banyak pada pemerintahan seperti ini. Apalagi jika setiap kali di demo oleh rakyat, maka selalu berkilah dan malah melakukan penangkapan secara tak manusiawi.
Selalu ada saja cara-cara oknum pemerintah untuk menutupi aksi korupsinya, hingga membuat kebijakan pelemahan terhadap KPK dan berkongsi dengan wakil rakyat membuat undang-undang yangmerugikan pemberantasan korupsi.
Yang lebih parah lagi, jika yang dikorupsi itu adalah uang yang diperoleh dari hasil utang luar negeri. Parah betul....utang yang seharusnya digunakan untuk memperkuat pembangunan sehingga kelak dapt dibayar justru berakhir dengan nambah utang lagi. Utang makin menumpuk, diberlakukanlah pajak dimana-mana agar bunga utang bisa terbayar. Rakyat pun makin menderita.
Dan begitu terus-menerus memperkaya diri dari uang rakyat atau uang dari utang luar negeri dengan berbagai cara-cara yang licik. Lalu, bersembunyi di bawah perlindungan kebijakan dan undang-undang, hingga dapat bersantai tak tersentuh oleh hukum, walaupun telah melakukan pencurian uang negara, secara berantai, dan turun temurun.
12. Sudah dibutakan hatinya dan lupa atas balasan akhirat yang amat pedih dan abadi
Ketika seseorang karena kekuasaan yang ia emban, tetapi telah dibutakan hatinya, maka haram halal tidak ada lagi dalam rumus kehidupannya.
Karena kekuasaanya pula korupsi dengan mudah ia lakukan bersama kelompoknya.
Bahkan hukum bisa ia beli dengan uang haram yang ia curi dari rakyat.
Tapi, ia lupa, bahwa hukum akhirat tak bisa ia hindari. Setiap jengkal kemungkaran yang ia lakukan, pasti ada balasannya kelak.
Dan parahnya, kebanyakan penguasa hari ini tidak sedikit yang dibutakan hatinya.
Demi urusan dunia, memperoleh kesenangan singkat yang semu, ia gadai bahkan jual imannya. Sungguh suatu pilihan hidup yang keliru. Semoga Allah membukakan hatinya agar kembal ke jalan yang benar.
13. Memang sudah diniatkan oleh sang koroptur sebelum ia menjabat, ingin
mencari keuntungan terlarang dari uang rakyat dengan menghalalkan
segala cara
Ada-ada saja yang mengawali terjadinya korupsi. Kasus kriminal luar biasa ini bisa terjadi karena oknum koruptornya memang sudah meniatkan akan melakukan itu sebelum ia menjabat.
Niatnya ingin menjadi pejabat, memang untuk itu, makanya sebelum ia duduk di singgasana kekuasaan, ia rela melakukan sogok-menyogok, menghalalkan segala cara agar ia lolos masuk di pemerintahan atau di dewan perwakilan rakyat. Lalu, setelah itu, mencari celah agar dapat mendapatan keuntungan terlarang dari mencuri uang rakyat alias korupsi.
14. Kurang mensyukuri penghasilan yang ia peroleh
Sebenarnya gaji pejabat tinggi, penguasa, dan orang-orang yang memimpin sebuah negara, memiliki gaji dan tunjangan yang sangat jauh lebih dari cukup.
Jika dibandingkan dengan masyarakat di bawah, yang terkadang cuma bisa makan sekali lalu berpuasa di esok harinya, demi melanjutkan kelangsungan hidup, gaji dan tunjangan pejabat tinggi itu sudah sangat patut disyukuri.
Hanya saja, gengsi dan lemahnya iman membuat mereka buta hati dan lebih mementingkan kesenangan duniawi yang sementara, ketimbang memikirkan kehidupan kekal di akhirat.
15. Adanya tuntutan terlarang dari istri, anak-anak, atau pihak ketiga dalam keluarga
Terlepas dari sikap individu koruptor, yang melakukan korupsi karena kehendak sendiri. Ada juga koruptor yang disebabkan bukan karena keinginan individu koruptor tersebut, tetapi karena adanya desakan dari pihak keluarga, istri, atau anak-anak mereka yang ingin ingin hidup bermewah-mewahan.
Tidak mau tersaingi oleh keluarga lain, atau tetangganya yang punya segalanya.
Makanya, jika ada seorang suami, ayah dari anak-anak yang punya kekuatan iman yang lemah. Merekalah penjerumus lahirnya koruptor. Desakan keluarga, tekanan keluarga, membuatnya goyah dan melakukan kejahatan luar biasa.
Itulah pentingnya membangun keluarga yang selalu ingat dengan Allah. Hidup bukan karena menuruti hawa nafsu segala keinginan dan terjerumus hedonisme, melainkan hidup dengan mementingkan kebutuhan, sederhana dalam menjalani, dan tetap berbagi pada sesama, terutama yang membutuhkan pertolongan.
Catatan Penutup inirumahpintar.com
Demikianlah pembahasan tentang sebab-sebab terjadinya korupsi di Indonesia dan mengapa kasus korupsi tidak berkurang. Semoga bermanfaat dan dapat menginsipirasi banyak orang sehingga dapat menyikapi bahwa korupsi itu adalah kejahatan luar biasa, lalu dibarengi kesadaran bahwa korupsi itu memang sangat-sangat perlu untuk diatasi.
Peran masyarakat dalam mengawasi kinerja wakil dan pemimpin mereka sangat diharapkan. Semoga negara kita Indonesia, terbebas dari kasus korupsi penjahat dan oknum tidak bertanggung jawab. Jayalah Indonesia, Dirgahayu 17 Agustus 2021, setidak-tidaknya kita lepas dari penjajahan dari kaum sendiri dari kasus korupsi dan pandemi covid-19 yang tak kunjung berhenti.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kepatuhannya melakukan komentar yang sopan, tidak menyinggung S4R4 dan p0rnografi, serta tidak mengandung link aktif, sp4m, iklan n4rk0ba, senj4t4 ap1, promosi produk, dan hal-hal lainnya yang tidak terkait dengan postingan. Jika ada pelanggaran, maaf jika kami melakukan penghapusan sepihak. Terimakasih dan Salam blogger!