7 Kesalahan Guru dalam Mengajar Daring dan Solusinya
INIRUMAHPINTAR.COM - Belajar daring adalah solusi sementara pemerintah menyikapi adanya pandemi covid-19 sejak 2020 silam. Pembelajaran terpaksa dilangsungkan bukan dengan tatap muka, tetapi melalui rumah masing-masing dengan menggunakan jejaring sosial atau e-learning. Jadi, belajar daring ini bukanlah program unggulan pemerintah dalam memajukan pendidikan nasional, melainkan langkah darurat menyikapi proses pendidikan yang terhenti karena pandemi. Namun, sepertinya banyak guru dan penyelenggara pendidikan yang salah kaprah atau berbuat tanpa program dalam proses pembelajaran daring.
Berikut ini, setidaknya ada 7 kesalahan guru dalam mengajar daring yang wajib dipahami untuk segera diubah ke level yang lebih profesional:
- Memberi tugas terlalu banyak
- Tidak pernah memberi penjelasan
- Memulai pembelajaran tanpa apersepsi
- Tidak pernah melaksanakan refleksi pembelajaran
- Memberi materi sebanyak seperti pembelajaran tatap muka
- Lambat respon menjawab pertanyaan siswa
- Tidak pernah melakukan apresiasi
1. Memberi Tugas Terlalu Banyak
Selama pembelajaran daring atau online, banyak siswa yang mengeluhkan jumlah tugas yang diperoleh dari gurunya. Namun, sayangnya banyak guru yang malah tidak peka dan mengambil jalan pintas dalam mengajar daring yakni dengan hanya share materi seenaknya untuk dicatat dan dikumpul hari itu.
Parahnya lagi, guru bersangkutan memberikan tugas setiap pertemuan tanpa pernah ada feedback berupa penilaian atau apresiasi.
Jika proses ini terus berlanjut, maka sedikit demi sedikit para siswa akan kehilangan ruh dan semangat belajar. Apalagi, belajar dari rumah, tanpa sosialisasi dengan teman dalam waktu yang lama benar-benar memicu stress dan depresi bagi perkembangan anak.
Guru harus peka. Percuma pintar kalau tidak peka terhadap anak didik.
2. Tidak Pernah Memberi Penjelasan
Lebih parah lagi, selama mengajar daring, tidak sedikit guru yang malas memberi penjelasan. Bahkan ada yang tidak pernah memberi penjelasan sama sekali. Mereka hanya memberi tugas catatan, kirim link video untuk ditonton, tanpa pernah memberi penjelasan langsung tentang materi yang diberikan layaknya di kelas.
Setidaknya sentuhlah jiwa para peserta didik dengan voice note atau sesekali dengan rekaman video materi. Dengan harapan, guru tetap menjalin hubungan emosional dengan siswa. Bukankah itu tujuan pendidikan?
Yang dikhawatirkan adalah para siswa dibebani banyak tugas, sementara guru seenaknya mengirimkan tugas tanpa penjelasan, lalu berleha-leha melakukan aktivitas lain di saat jam mengajarnya berlangsung.
Guru mesti peka, memberi penjelasan adalah kewajibannya. Jangan malah menyerahkan sepenuhnya ke siswa. Karena kalau hanya sekadar mencari jawaban, Google juga telah menyediakan hampir semua topik.
Kemana guru disaat dirinya dibutuhkan? Ataukah selama mengajar daring, guru bermetamorfosa menjadi patung atau robot kirim tugas yang tidak dilengkapi memori untuk menjelaskan.
3. Memulai pembelajaran tanpa Apersepsi
Proses apersepsi adalah langkah awal dalam pembelajaran. Melalui tahapan kegiatan ini, guru dapat mengetahui seberapa siap siswanya untuk mengikuti pembelajaran. Dan juga seberapa jauh wawasan para siswa tentang materi baru yang akan dipelajari.
Begitu teorinya. Namun, selama mengajar daring, banyak guru yang melakukan kesalahan fatal. Mereka mengajar tanpa pernah melalui proses apersepsi. Bahkan tidak sedikit yang langsung to the point ke pemberian tugas tanpa sapaan, motivasi dan ajakan untuk berdoa.
Apakah seperti itu guru seharusnya? Letak mendidiknya dimana?
4. Tidak pernah melaksanakan refleksi pembelajaran
Kesalahan berikutnya adalah tidak pernah melaksanakan refleksi pembelajaran. Padahal, tahapan ini adalah proses untuk mengenali kebutuhan dan hal-hal yang perlu diperbaiki selama proses belajar-mengajar.
Siswa bukanlah robot bukan juga babu. Mereka manusia pembelajar yang punya jiwa. Jiwa mereka masih abu-abu, bahkan tidak sedikit yang masih kosong. Jika guru semena-mena mengisi jiwa para siswanya dengan perintah, suruhan, tugas, atau mungkin amarah, tanpa pernah ingin mendengar keluh kesah mereka. Fiks!!!! No debat....guru telah salah kaprah.
Posisi guru di masa pandemi ini adalah peredam atau penyemangat di kala masa-masa sulit. Bukan malah penambah beban.
5. Memberi materi sebanyak seperti pembelajaran tatap muka
Mengajar daring adalah solusi sementara agar para peserta didik di seluruh Indonesia tidak benar-benar ketinggalan dalam mengecap pendidikan sebelum mengarungi bahtera kehidupan yang lebih kompleks.
Harusnya guru peka untuk tidak memberi materi sebanyak ketika mengajar tatap muka di kelas. Kok malah ada guru yang memberi materi catatan seabrek tanpa penjelasan dengan batas waktu sempit berkali-kali setiap pertemuan.
Kalau begini caranya, proses belajar akan menjadi aktivitas yang paling dibenci. Dan pesan ini secara tersirat bermula tersampaikan oleh guru-guru yang telah kehilangan salah satu indera perasanya.
6. Lambat respon menjawab pertanyaan siswa
Selama pembelajaran daring, banyak guru yang malas tiba-tiba rajin. Rajin memberi tugas catatan, tetapi di sisi lain ia menjadi malas menjelaskan.
Parahnya lagi, tidak sedikit guru yang berubah menjadi otoriter dan sangat pasif. Mereka ingin direspon cepat, tapi ketika siswa bertanya tentang materi pelajaran yang tidak atau kurang dipahami baik melalui pesan suara/tertulis di jejaring sosial atau e-learning, hanya dia dan Tuhan yang tahu kapan pesan itu akan dibalas.
Coba bayangkan ketika itu terjadi kelas! Guru tak menerima pertanyaan atau guru tidak dapat menjawab pertanyaan siswa. Bukankah itu berarti pembelajaran tersebut gagal? Sampai kapan oknum guru gagal ini menjadi tumpuan harapan terakhir siswa dalam menuntut ilmu?
7. Tidak pernah melakukan apresiasi
Terakhir, tapi bukan selamanya. Wih!!!! Mungkin siswa masih sanggup menerima segala beban tugas yang diberikan meski tanpa penjelasan guru dan tanpa respon ketika diberi pertanyaan.
Tapi, kok guru begitu tega melakukan kesalahan ini. Setiap tugas siswa tak pernah sekalipun diberi nilai, penghargaan, atau apresiasi.
Itu artinya tidak ada lagi satu unsur dari PAKEM (Pembelajaran, Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) yang tertuang dalam pembelajaran daring.
Kalau begini jadinya, mending tidak usah ada pembelajaran daring. Kuota habis, beban selangit, tapi proses pendidikan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Lebih baik para siswa diliburkan, para ortu menabung dan fokus melakukan tugas mendidik di rumah sembari pemerintah menuntaskan pandemi Covid-19.
Karena kalau 7 kesalahan di atas masih terus berlanjut, ini namanya bukan memberi solusi tetapi justru menambah masalah. Ingat, anak-anak dirumahkan itu sudah masalah, para siswa terkena dampak psikologis, mereka kehilangan ruang pertumbuhan alami yang ideal.
Mengapa justru banyak oknum guru yang begitu tega merusak mental para generasi muda kita dengan acuh tak acuh mengajar online sambil memelihara kesalahan dan kedunguan digital dalam mengajar?
Solusinya apa?
Solusi cepat dan akurat untuk mengatasi ini adalah setiap sekolah, melalui kepala sekolah atau madrasah mesti turun tangan mendengar keluh kesah para siswa dan segera melakukan tindak lanjut dengan menegur, mengarahkan, atau melakukan tindakan tegas terhadap para guru yang menjadi momok menakutkan dalam pembelajaran daring.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kepatuhannya melakukan komentar yang sopan, tidak menyinggung S4R4 dan p0rnografi, serta tidak mengandung link aktif, sp4m, iklan n4rk0ba, senj4t4 ap1, promosi produk, dan hal-hal lainnya yang tidak terkait dengan postingan. Jika ada pelanggaran, maaf jika kami melakukan penghapusan sepihak. Terimakasih dan Salam blogger!