INIRUMAHPINTAR.COM - Guru honorer adalah guru yang direkrut dan diperbantukan untuk mengisi kekosongan guru yang ada di sebuah institusi pendidikan baik di swasta maupun di negeri. Perekrutan biasanya dilakukan oleh pihak sekolah mengingat adanya kebutuhan guru yang mendesak, sementara tidak ada guru ASN yang bisa mengisinya.
Pada perkembangannya, banyak yang mempertanyakan level kompetensi guru honorer? Apakah benar-benar telah sesuai dengan kriteria status guru yang diembannya, yang tidak hanya dituntut untuk bisa mengajar secara profesional, tetapi juga mampu mendidik, menginspirasi, dan menjadi teladan baik di lingkungan sekolah, maupun di lingkungan luar sekolah.
Yah, tingkat kompetensi tentu sangat bervariasi, tapi kita tidak boleh memandang sebelah mata, karena banyak juga guru honorer yang lebih kompeten dibanding guru ASN dalam hal profesionalisme kerja.
Keadaan ini tentu saja merupakan dilema yang sebaiknya tidak didiamkan saja. Yah, guru honorer, dengan segala keterbatasannya dituntut profesional dalam menjalankan tugas. Sementara di luar sana, setelah kembali ke rumah, bertemu dengan keluarga, yang butuh pemenuhan ini itu, terutama kebutuhan pokok, harus memeras otak untuk mencari tambahan penghasilan. Tidak sedikit yang bahkan harus berhutang. Miris bukan?
Anehnya, pemerintah melakukan perekrutan guru dengan jumlah tidak seberapa tiap tahunnya. Bahkan pernah menunda perekrutan ASN di Era pertama Jokowi. Apakah Indonesia tidak sanggup lagi menyokong buat menggaji guru? Jika, ya, mengapa memaksakan Indonesia mesti memberlakukan pendidikan gratis? Bukankah itu justru menambah dilema. Pemerintah secara tidak langsung merestui hadirnya guru honorer, dipekerjakan demi kepentingan negara, tapi digaji rendah. Apakah itu sejalan dengan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia?
Sayangnya, dilema terus-menerus terjadi turun-temurun. Pemerintah wajib terlebih dahulu memikirkan dan menyelesaikan nasib guru honorer, yang turut andil besar dalam memajukan pendidikan nasional. Sejahterakan dulu mereka, baru buat program ini itu, yang prosesnya terkadang menuntut otak, otot, dan waktu.
Sebagai contoh, program K13 yang sampai saat ini dijalankan bertahap, tidak bisa diklaim berjalan dengan sangat sukses. Buku-buku pelajarannya saja, tidak bisa dibagikan merata ke seluruh sekolah. Coba kita kembali menengok era Soeharto, dimana buku-buku pelajaran selalu tersedia. Dan tidak perlu diganti-ganti sehingga bisa dipakai bertahun-tahun. Karena itu, penyusunannya memang perlu dibuat dengan maksimal, bukan hanya sekedar kejar tayang asal program jalan, uang proyek jatuh ke tangan.
Belum lagi, proses pengajarannya. Walaupun telah disosialisasikan, melalui seminar dan workshop, pengajaran K13 belum bisa dikatakan sukses. Mulai dari penyaji materi seminarnya, yang justru lebih banyak diberikan bukan kepada pelaku pendidikan yang profesional, melainkan justru diberi kepada dosen-dosen atau tim yang katanya ahli, tapi lebih banyak berteori ketimbang langsung memberikan contoh mengajar K13 di kelas.
Harusnya, mulai saat ini, semua pemateri, berlaku untuk semua program, termasuk K13, wajib memberikan percontohan pengajaran langsung di lapangan. Karena jika hanya terus-menerus berceramah teoritis, maka itu akan buang-buang waktu saja. Beda teori, beda kenyataan. Yang saya khawatirkan adalah guru honorer justru jauh lebih profesional dalam mengajar ketimbang para pemateri-pemateri itu, yang katanya ahli. Ingat bung, kita tidak butuh lagi ahli ceramah, kita butuh ahli lapangan.
Makanya, pemerintah harus melek hati dan akal sehat melihat fenomena ini. Yang bisa membimbing guru mengajar adalah guru juga, bukan ahli peneliti, dosen peneliti, yang tidak pernah sama sekali mengajar peserta didik tingkat dasar, menengah pertama, dan atas. Menambah wawasan bisa, tapi menambah skill mengajar tidak relevan, mana mungkin singa, sang raja hutan mengajar ikan berenang? Sekecil-kecilnya ikan, ia lebih jago berenang ketimbang singa yang punya badan besar dan kekar.
Intinya adalah, jika harapan pemerintah tinggi dalam memajukan pendidikan nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum, mulailah dulu dengan menyelesaikan masalah kesejahteraan guru honorer.
Masalah workshop, pelatihan, dan lain sebagainya, itu hanya nilai tambah sekunder. Yang primer adalah maksimalkan kesejahteraan guru, minimal dengan mengacu pada UMR. Setelah itu, baru kita selesaikan masalah dalam dunia pendidikan lainnya, yang jumlahnya juga tidak sedikit.
Barulah kemudian kita fokus pada pemerataan beban kerja dengan mempertimbangkan keadaan peserta didik. Jangan memaksakan full day school program untuk berlaku nasional. Dalam hal ini, pemerintah wajib melek lagi, hentikan program itu buat sekolah-sekolah yang belum siap secara materil, baik dalam hal sarana maupun prasarana. Yang ada hasilnya malah makin rumit, di satu sisi peserta didik makin stress dengan beban belajar yang bertambah dan kurangnya waktu bermain, dan di sisi lain, beban guru juga makin meroket sementara kesejahteraannya tidaklah adil dan merata.
Pemerintah wajib peduli dan segera mengambil kebijakan agar guru-guru honorer yang sudah terlanjur aktif mengajar hingga saat ini, di instansi manapun, segera diberikan payung hukum jelas tentang status mereka.
Andaikata pemerintah benar-benar tidak sanggup, maka hentikan segera program pendidikan gratis itu. Lebih baik kembalikan dan aktifkan kembali BP3 layaknya era Soeharto atau maksimalkan peran komite sekolah agar penggajian guru bisa dimaksimalkan melalui iuran dari orang tua peserta didik. Dalam hal ini, beban iuran bolehlah dibuatkan aturan sesuai kemampuan orang tua, dan sisanya diambil dari dana BOS.
Proses ini jauh lebih adil. Orang tua dapat lebih aware dan care terhadap anaknya agar tidak main-main dalam belajar, dan guru dapat lebih fokus menjalankan tugasnya tanpa dihantui dilema kesejahteraan.
Dan melalui proses ini, saya yakin, peserta didik tidak lagi asal sekolah, asal masuk belajar, asal ikut ulangan, asal hadir di kelas, begitupun, guru tidak lagi asal mengajar, asal hadir di kelas, asal memberi nilai. Semua perlu dikembalikan ke pondasi utama proses pendidikan yakni kejujuran dan profesionalisme. Bukan lagi asal-asalan, karena beban kerja dan kesejahteraan pun asal-asalan.
Juga melalui cara ini, proses pendidikan akan lebih maju, tidak boleh ada lagi kebijakan memberi nilai. Jika tidak serius belajar, peserta didik harus siap tinggal kelas atau tidak lulus. Dengan begini, guru akan kembali memiliki singgasana prestisenya, tidak diinjak-injak seperti sekarang. Memberi nilai rendah sesuai kenyataan, eh, malah mendapat perlakuan tidak menyenangkan demi menjaga nama baik sekolah, kabupaten, provinsi, negara...Hingga kemudian, lahirlah generasi micin millenial yang berpendapat, buat apa rajin belajar, toh pasti kita naik kelas atau lulus!!! Dilema?
Jika kamu setuju dengan tulisan ini, maka jangan lupa buat share di sosial media agar banyak yang membaca dan peduli. (Ahyadi)
Pada perkembangannya, banyak yang mempertanyakan level kompetensi guru honorer? Apakah benar-benar telah sesuai dengan kriteria status guru yang diembannya, yang tidak hanya dituntut untuk bisa mengajar secara profesional, tetapi juga mampu mendidik, menginspirasi, dan menjadi teladan baik di lingkungan sekolah, maupun di lingkungan luar sekolah.
Yah, tingkat kompetensi tentu sangat bervariasi, tapi kita tidak boleh memandang sebelah mata, karena banyak juga guru honorer yang lebih kompeten dibanding guru ASN dalam hal profesionalisme kerja.
Nasib Guru Honorer, Beban Kerja dan Kesejahteraan
Terlepas dari hal tersebut, pernahkah kita merenungkan, bagaimana nasib guru honorer sebenarnya? Di satu sisi, mereka kian hari diberikan beban kerja yang sama dengan guru ASN, bahkan terkadang lebih, sementara di sisi lain, kesejahteraannya jauh di bawah UMR. Bahkan kalah jauh ketimbang gaji penjaga toko, yang (maaf) hanya lulusan SMA sederajat. Sementara saat ini, tidak sedikit guru-guru honorer kita telah menyandang titel S2, yang tentu saja penuh perjuangan dalam meraihnya.Keadaan ini tentu saja merupakan dilema yang sebaiknya tidak didiamkan saja. Yah, guru honorer, dengan segala keterbatasannya dituntut profesional dalam menjalankan tugas. Sementara di luar sana, setelah kembali ke rumah, bertemu dengan keluarga, yang butuh pemenuhan ini itu, terutama kebutuhan pokok, harus memeras otak untuk mencari tambahan penghasilan. Tidak sedikit yang bahkan harus berhutang. Miris bukan?
Kebutuhan Guru di Indonesia dan Dilema Pemerintah
Tidak bisa dipungkiri, jumlah kebutuhan guru di Indonesia selalu bertambah. Hal itu masuk akal, jika melihat jumlah penduduk di negara ini yang terus bertambah, dan tiap tahun ada banyak guru yang mencapai era pensiun di hampir seluruh wilayah Indonesia.Anehnya, pemerintah melakukan perekrutan guru dengan jumlah tidak seberapa tiap tahunnya. Bahkan pernah menunda perekrutan ASN di Era pertama Jokowi. Apakah Indonesia tidak sanggup lagi menyokong buat menggaji guru? Jika, ya, mengapa memaksakan Indonesia mesti memberlakukan pendidikan gratis? Bukankah itu justru menambah dilema. Pemerintah secara tidak langsung merestui hadirnya guru honorer, dipekerjakan demi kepentingan negara, tapi digaji rendah. Apakah itu sejalan dengan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia?
Harapan Tinggi Buat Pendidikan, tapi Rendah di Kenyataan
Lanjut ke visi misi dan tujuan pendidikan nasional. Harapan negara ini adalah mampu memajukan pendidikan nasional dengan mencerdaskan seluruh elemen masyarakat, sebagaimana isi falsafah pembukaan UUD 1945.Sayangnya, dilema terus-menerus terjadi turun-temurun. Pemerintah wajib terlebih dahulu memikirkan dan menyelesaikan nasib guru honorer, yang turut andil besar dalam memajukan pendidikan nasional. Sejahterakan dulu mereka, baru buat program ini itu, yang prosesnya terkadang menuntut otak, otot, dan waktu.
Sebagai contoh, program K13 yang sampai saat ini dijalankan bertahap, tidak bisa diklaim berjalan dengan sangat sukses. Buku-buku pelajarannya saja, tidak bisa dibagikan merata ke seluruh sekolah. Coba kita kembali menengok era Soeharto, dimana buku-buku pelajaran selalu tersedia. Dan tidak perlu diganti-ganti sehingga bisa dipakai bertahun-tahun. Karena itu, penyusunannya memang perlu dibuat dengan maksimal, bukan hanya sekedar kejar tayang asal program jalan, uang proyek jatuh ke tangan.
Belum lagi, proses pengajarannya. Walaupun telah disosialisasikan, melalui seminar dan workshop, pengajaran K13 belum bisa dikatakan sukses. Mulai dari penyaji materi seminarnya, yang justru lebih banyak diberikan bukan kepada pelaku pendidikan yang profesional, melainkan justru diberi kepada dosen-dosen atau tim yang katanya ahli, tapi lebih banyak berteori ketimbang langsung memberikan contoh mengajar K13 di kelas.
Harusnya, mulai saat ini, semua pemateri, berlaku untuk semua program, termasuk K13, wajib memberikan percontohan pengajaran langsung di lapangan. Karena jika hanya terus-menerus berceramah teoritis, maka itu akan buang-buang waktu saja. Beda teori, beda kenyataan. Yang saya khawatirkan adalah guru honorer justru jauh lebih profesional dalam mengajar ketimbang para pemateri-pemateri itu, yang katanya ahli. Ingat bung, kita tidak butuh lagi ahli ceramah, kita butuh ahli lapangan.
Makanya, pemerintah harus melek hati dan akal sehat melihat fenomena ini. Yang bisa membimbing guru mengajar adalah guru juga, bukan ahli peneliti, dosen peneliti, yang tidak pernah sama sekali mengajar peserta didik tingkat dasar, menengah pertama, dan atas. Menambah wawasan bisa, tapi menambah skill mengajar tidak relevan, mana mungkin singa, sang raja hutan mengajar ikan berenang? Sekecil-kecilnya ikan, ia lebih jago berenang ketimbang singa yang punya badan besar dan kekar.
Intinya adalah, jika harapan pemerintah tinggi dalam memajukan pendidikan nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum, mulailah dulu dengan menyelesaikan masalah kesejahteraan guru honorer.
Masalah workshop, pelatihan, dan lain sebagainya, itu hanya nilai tambah sekunder. Yang primer adalah maksimalkan kesejahteraan guru, minimal dengan mengacu pada UMR. Setelah itu, baru kita selesaikan masalah dalam dunia pendidikan lainnya, yang jumlahnya juga tidak sedikit.
Barulah kemudian kita fokus pada pemerataan beban kerja dengan mempertimbangkan keadaan peserta didik. Jangan memaksakan full day school program untuk berlaku nasional. Dalam hal ini, pemerintah wajib melek lagi, hentikan program itu buat sekolah-sekolah yang belum siap secara materil, baik dalam hal sarana maupun prasarana. Yang ada hasilnya malah makin rumit, di satu sisi peserta didik makin stress dengan beban belajar yang bertambah dan kurangnya waktu bermain, dan di sisi lain, beban guru juga makin meroket sementara kesejahteraannya tidaklah adil dan merata.
Seruan Hangat Buat Pemerintah dan Pihak Terkait
Mulai saat ini, pemerintah wajib jujur kepada masyarakat. Jika tidak sanggup menggaji guru dengan adil, maka hentikan seluruh perekrutan guru honorer di seluruh negeri, karena secara tidak langsung itu adalah penindasan dan penghinaan terhadap profesi dan prestise guru. Mereka adalah tenaga terdidik yang dipekerjakan, tapi digaji murah. Lebih murah dari (maaf) gaji buruh tak berpendidikan sekalipun.Pemerintah wajib peduli dan segera mengambil kebijakan agar guru-guru honorer yang sudah terlanjur aktif mengajar hingga saat ini, di instansi manapun, segera diberikan payung hukum jelas tentang status mereka.
Andaikata pemerintah benar-benar tidak sanggup, maka hentikan segera program pendidikan gratis itu. Lebih baik kembalikan dan aktifkan kembali BP3 layaknya era Soeharto atau maksimalkan peran komite sekolah agar penggajian guru bisa dimaksimalkan melalui iuran dari orang tua peserta didik. Dalam hal ini, beban iuran bolehlah dibuatkan aturan sesuai kemampuan orang tua, dan sisanya diambil dari dana BOS.
Proses ini jauh lebih adil. Orang tua dapat lebih aware dan care terhadap anaknya agar tidak main-main dalam belajar, dan guru dapat lebih fokus menjalankan tugasnya tanpa dihantui dilema kesejahteraan.
Dan melalui proses ini, saya yakin, peserta didik tidak lagi asal sekolah, asal masuk belajar, asal ikut ulangan, asal hadir di kelas, begitupun, guru tidak lagi asal mengajar, asal hadir di kelas, asal memberi nilai. Semua perlu dikembalikan ke pondasi utama proses pendidikan yakni kejujuran dan profesionalisme. Bukan lagi asal-asalan, karena beban kerja dan kesejahteraan pun asal-asalan.
Juga melalui cara ini, proses pendidikan akan lebih maju, tidak boleh ada lagi kebijakan memberi nilai. Jika tidak serius belajar, peserta didik harus siap tinggal kelas atau tidak lulus. Dengan begini, guru akan kembali memiliki singgasana prestisenya, tidak diinjak-injak seperti sekarang. Memberi nilai rendah sesuai kenyataan, eh, malah mendapat perlakuan tidak menyenangkan demi menjaga nama baik sekolah, kabupaten, provinsi, negara...Hingga kemudian, lahirlah generasi micin millenial yang berpendapat, buat apa rajin belajar, toh pasti kita naik kelas atau lulus!!! Dilema?
Kesimpulan dan Harapan Penulis
Semoga Menteri Pendidikan membaca ini, meski kemungkinannya sangat kecil. Kesimpulannya adalah, pemerintah wajib mengembalikan prestise guru, termasuk guru honorer, mencukupi kesejahteraannya, dan membimbingnya dengan beban kerja yang adil disertai proses transfer ilmu dan skill oleh para ahli pelaksana pendidikan, bukan ahli teoritis semata. Karena hanya dengan cara ini, percepatan kemajuan pendidikan nasional dapat berjalan maksimal.Jika kamu setuju dengan tulisan ini, maka jangan lupa buat share di sosial media agar banyak yang membaca dan peduli. (Ahyadi)
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kepatuhannya melakukan komentar yang sopan, tidak menyinggung S4R4 dan p0rnografi, serta tidak mengandung link aktif, sp4m, iklan n4rk0ba, senj4t4 ap1, promosi produk, dan hal-hal lainnya yang tidak terkait dengan postingan. Jika ada pelanggaran, maaf jika kami melakukan penghapusan sepihak. Terimakasih dan Salam blogger!