Ini 10 Alasan Logis Mengapa Siswa Tidak Lagi Hormat kepada Guru
INIRUMAHPINTAR - Baru-baru ini, publik kembali dihebohkan dengan kasus seorang siswa yang memukul gurunya hingga meregang nyawa. Kasus ini terjadi di Sampang, Jawa Timur. Seorang guru honorer yang mengajarkan seni, dipukuli oleh siswanya sendiri karena tidak terima ditegur saat pelajaran sedang berlangsung.
Kejadian bermula saat tersangka yang berinisial HI kedapatan tertidur saat pelajaran kesenian sedang berlangsung. Kemudian, sang guru yang berinisial B mencoret pipi HI dengan tinta sebagai bentuk teguran. Tidak terima dengan bentuk teguran tersebut, HI lantas terbangun dan melepaskan pukulan ke arah wajah gurunya sendiri.
Awalnya pihak sekolah tidak terlalu khawatir karena melihat kondisi B yang cukup sehat, namun semua berubah ketika terdengar kabar B, sang guru honorer yang terkenal multitalenta itu meninggal dunia sesaat ia tiba di rumah. Meski sempat di bawah ke rumah sakit, sang guru tidak mampu tertolong.
Terlepas dari jeratan hukum yang harus diterima oleh pelaku, saya berusaha untuk melihat ini sebagai masalah aktual di dunia pendidikan yang wajib mendapat perhatian khusus bagi semua pihak, terkhusus kepada pemerintah Republik Indonesia.
Ada apa sebenarnya? Mengapa siswa zaman now kelihatan tidak lagi hormat dan patuh kepada guru-guru mereka di sekolah? Berbeda dengan tempo doeloe dimana siswa benar-benar hormat dan segan kepada guru mereka di sekolah.
Jangankan memukul, melihat mata guru saja tidak berani. Walau tidak semua siswa seperti itu, setidaknya sudah ada sejumlah kasus serupa yang terjadi dan menghantui dunia pendidikan Indonesia. Fenomena apakah ini?
Mari kita melihat ini secara kompleks.
Berdasarkan analisis penulis, berikut ini adalah beberapa alasan logis mengapa siswa tidak lagi hormat kepada guru mereka?
1. Pendidikan Gratis
Pendidikan gratis dari satu sisi sangat memudahkan terwujudnya wajib belajar 9 tahun. Siswa bisa belajar tanpa ada ketakutan tidak mampu membayar biaya sekolah. Namun di sisi lain, motivasi siswa untuk benar-benar serius belajar dapat terganggu. Terutama siswa yang memang malas dan tidak mendapat perhatian penuh dari orang tuanya. Mereka acuh tak acuh dan memilih untuk belajar ala kadarnya. Lagi pula, gratis. Imbasnya, guru tidak mendapat tempat yang spesial bagi siswa, lebih-lebih jika guru tersebut masih muda dan berstatus honorer.
2. Kualitas Guru
Walaupun lulusan universitas jurusan pendidikan semakin banyak, bukan berarti jumlah guru-guru berkualitas yang mau mengajar di sekolah (terutama negeri) pun semakin banyak. Alasan utamanya adalah gaji yang tidak memadai. Terutama jika masih berstatus honorer, gaji sangat jauh di bawah UMR, bahkan kalah dari gaji buruh lulusan SMA/SMK.
Jikapun ada yang ingin mengabdikan diri di sekolah; kualitas, integritas, dan profesionalisme-nya pun belum teruji karena tidak melewati jenjang seleksi yang memadai. Bahkan tidak sedikit sekolah negeri yang merekrut tanpa tes. Namun, sekolah juga tidak selayaknya dipersalahkan. Jumlah guru PNS yang tidak lagi cukup untuk mengajar semua kelas hanya bisa diatasi dengan merekrut guru honorer. Lagipula, pemerintah tidak melakukan perekrutan resmi dan pengangkatan CPNS beberapa tahun ini.
Imbasnya, kualitas guru terombang-ambing. Siswa yang memasuki era millenial tidak lagi mampu diimbangi dengan gaya mengajar tempo doeloe yang kebanyakan masih diterapkan guru-guru rekrutan tahun 80 dan 90-an. Jadi, jangan heran, jika sebagian guru kurang mendapat respect oleh siswanya.
Yah, kualitas guru perlu menjadi perhatian dan pemerintah tidak semestinya lepas tangan.
3. Reformasi Guru
Sejalan dengan permasalahan nomor 2 di atas, perlunya reformasi guru dengan melakukan perekrutan guru-guru muda yang profesional dan ahli di bidangnya mestinya dipercepat dan menjadi fokus pemerintah. Jangan sampai diambil alih guru-guru honorer yang belum teruji. Lagi pula, guru-guru kompeten itu perlu dipantaskan dengan status dan gaji memadai.
Perlu direnungkan bahwa siswa zaman now yang sehari-harinya dipenuhi dengan gawai dan internet lebih melek jika diberikan pengajaran yang berbau teknologi. Sementara tak bisa dipungkiri, umumnya guru rekrutan tahun 80 dan 90-an kurang ahli di bidang tersebut.
Dalam hal ini, reformasi guru memungkinkan terjadi reformasinya pendekatan dan strategi pembelajaran yang lebih tepat. Lagipula, kurikulum 2013 yang berlaku sekarang tampaknya lebih tepat diajarkan oleh para guru-guru muda yang profesional, menguasai teknologi, dan menggunakan bahasa-bahasa persuasif ala zaman now.
Janganlah memaksakan hal baru bagi guru-guru yang hampir pensiun. Kita realistis saja, walau ahli di bidangnya, dalam hal administrasi dan menyiapkan model pembelajaran modern, mereka umumnya tidak lagi kuat berlama-lama di depan layar laptop. Dan bahkan masih banyak yang belum bisa mengoperasikan microsoft office, menjalankan printer, scanner, dan LCD projektor. Padahal itu semua sangat diperlukan dalam dunia pendidikan.
Jika reformasi guru lambat direalisasikan, sehingga banyak guru tidak kompeten di bidangnya, maka jangan heran jika guru tidak lagi mendapat tempat yang spesial di mata siswanya.
4. Kualitas Orang Tua
Bukan hanya guru, orang tua juga banyak yang tidak melek terhadap perubahan pola hidup generasi masa kini. Orang tua tidak tahu tentang internet, apalagi medsos seperti instagram dkk. Akibatnya, orang tua sering kecolongan jika anak mereka kecanduan main gawai dan lupa belajar.
Belum lagi masalah pendidikan moral dan karakter. Tidak sedikit orang tua menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka ke sekolah. Padahal, dunia telah berbeda, pengaruh ada dimana-mana bahkan di dalam kamar sekalipun. Dan tanpa peran maksimal dari orang tua, anak-anak bangsa ini akan dijajah oleh kemolekan dan kemudahan teknologi yang tersedia dalam genggaman hingga lupa menyiapkan diri, belajar menjadi generasi penerus yang produktif.
Banyak orang tua yang terkecoh pergaulan anak-anaknya. Hingga tidak sedikit yang terpaksa harus malu mendapati anak mereka terjebak dalam lingkaran pergaulan bebas. Mulai sekarang, orang tua harus berbenah. Minimal dengan menjalin sinergitas dengan para guru, bukan malah melaporkan guru yang berusaha mendidik. Jika dibiarkan, guru semakin terpojok dan serba salah dalam menjalankan perannya sebagai pendidik.
5. Hubungan Guru dan Orang Tua
Pola interaksi guru dan orang tua yang mulai renggang karena pendidikan gratis dan sebab lain, kini perlu dipererat kembali. Mereka perlu bekerja sama untuk mendidik dan mengarahkan generasi. Jangan sampai terjadi ketimpangan. Guru menegur sang anak karena malas, eh, orang tua marah dan melapor polisi.
Guru dan orang tua haruslah mesra, menyamakan visi dan misi untuk membentuk generasi. Jangan saling menuding dan merasa lebih baik satu sama lain. Andai ada masalah sekalipun, sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan dan bijak. Guru adalah manusia biasa, orang tua juga manusia biasa, yang tidak bisa lepas dari kekurangan. Alangkah baiknya, jika mereka saling bekerjasama mendidik generasi.
Salah satu bentuk aksi nyata untuk mewujudkan hubungan guru dan orang tua yang lebih baik adalah menyelenggarakan pertemuan rutin setiap bulan atau minimal setiap semester untuk saling merefleksi diri dan berbagi keluh kesah.
6. Pengaruh Globalisasi
Globalisasi tak terbendung dan sampai kini selalu hadir dimanapun kita berada. Bagi para siswa, internet, game, film korea, dan medsos menjadi umpan paling renyah yang sulit dihindari. Waktupun habis percuma untuk kesenangan fana, hingga lupa belajar dan meningkatkan kualitas diri.
Usia muda seharusnya banyak diisi dengan belajar sungguh-sungguh, ikut les sana sini, berkarya sesuai hobi, seperti olahraga dan seni, bukan semata-mata untuk main game mobile legend atau menonton film korea berseri hingga dini hari. Game yang seharusya hanya hiburan atau pengisi waktu luang setelah belajar justru dijadikan menu harian yang paling utama.
Jadi, jangan heran, banyak siswa yang menganggap sekolah hanya selingan dan lupa menaruh hormat kepada guru-guru mereka.
7. Sistem Kelulusan
Menetapkan sistem kelulusan yang ideal tentu tidak mudah. Jika benar-benar ketat dan ditetapkan secara nasional, katanya, banyak siswa yang stress dan tertekan. Makanya, kini sistem kelulusan ditetapkan oleh sekolah. Walhasil, tidak sedikit siswa yang tidak terlalu fokus pada kelulusan itu. Mereka belajar sesuka hati saja. Padahal, sekolah adalah tempat berinvestasi untuk menggapai cita-cita.
Jadi jangan heran, para siswa yang memang setengah-tengah dalam belajar, telah menjadi korban globalisasi, atau mengalami masalah keluarga, memiliki pribadi yang tidak stabil dan bisa jadi kehilangan rasa hormat terhadap guru-guru mereka di sekolah.
8. Pendidikan Karakter
Pendidikan nasional menuntut terwujudnya pendidikan karakter di lingkungan sekolah. Masalahnya adalah untuk mewujudkan itu dibutuhkan sosok guru yang bisa diteladani, lingkungan yang beradab, dan volume ilmu-ilmu moral dan agama yang banyak.
Kita perlu realistis bahwa perwujudan nilai-nilai karakter yang sesungguhnya tercermin dari pendidikan agama baik di rumah maupun di sekolah. Jadi, mendekatkan kembali para siswa terhadap agama-nya masing-masing adalah jawaban atas terjadinya degradasi nilai-nilai karakter pada jiwa anak.
Jam pelajaran agama perlu ditambah; kegiatan-kegiatan rohani perlu diperbanyak; dan peran guru untuk memberikan keteladanan dalam berbagai hal perlu ditingkatkan.
Jika pendidikan karakter ini gagal diterapkan disekolah, apalagi luput dari dukungan orang tua, jangan heran andai ada siswa yang tidak lagi hormat kepada gurunya.
9. Gaji Guru
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Jasa yang seharusnya memperoleh nilai tak terhingga. Itulah pepatah yang selalu terngiang di kepala. Sayangnya, barangkali ada yang lupa bahwa guru itu menghadapi manusia, menyiapkan generasi, dan turut andil dalam membangun bangsa. Pengacara yang jago bicara, penguasa yang bijaksana, pengusaha yang kaya raya, hingga wakil rakyat yang bersahaja, semua terdidik dari guru-guru biasa nan sederhana.
Lalu mengapa gaji guru lebih rendah dari dokter, pengacara, dan ahli-ahli lain di bidangnya? Dokter misalnya, melakukan treatment medis pada orang yang raganya sakit, tetapi guru lebih dari itu, ia menyiapkan jiwa dan mendewasakan akal para siswanya.
Bukankah guru itu memiliki peran vital. Tanpa guru, bangsa ini mau apa? Lulusan S1 (guru) pendidikan guru digaji berapa? Lulusan S2 atau S3 (dosen) digaji berapa? Mari kita realistis, masih banyak guru-guru kita yang justru dibiarkan hidup kurang sejahtera.
Jadi jangan heran, dengan kondisi sosial yang begitu sederhana, tidak sedikit mereka kehilangan tempat terhormat di mata siswa yang lebih beruntung dari segi ekonomi dan kedudukan sosial.
10. Sistem Pendidikan Secara Keseluruhan
Yah, tidak bisa dipungkiri, sistem pendidikan nasional selalu berubah-ubah. Mulai dari perubahan kurikulum, penerapan full day school, dan pendataan guru yang begitu menyita waktu, ketersediaan buku pelajaran yang terbatas, dsb menjadi fenomena yang telah sedang terjadi di negeri ini.
Kurikulum dan kebijakan full day school diterapkan layaknya hanya coba-coba. Maukah negeri kita menjadi generasi coba-coba? semester telah berjalan, buku belum juga tersedia; masa penilaian tiba, rubrik rapor untuk guru tidak merata; belum lagi sistem pendataan guru yang begitu tidak mudah, terutama bagi guru yang tidak ahli komputer.
Cukup sudah, pemerintah perlu menyiapkan guru yang handal, profesional, dan mumpuni dalam bidang teknologi, lalu melibatkan mereka dalam penerapan kurikulum yang lebih baik. K-13 adalah bukti teori yang tidak sejalan dengan kualitas guru di lapangan.
Semoga itu tidak lagi terulang, dana pendidikan yang besar itu, sebaiknya dipakai untuk memperbanyak guru-guru berkualitas di negeri ini agar ujung tombak pendidikan ini menempati eksistensi yang lebih pantas, lebih dari sekedar pahlawan tanpa tanda jasa.
Benar sekali apa yang telah dipaparkan di atas
ReplyDelete