INIRUMAHPINTAR - Pendidikan sejatinya adalah proses yang mengantarkan seseorang menjadi pribadi yang lebih pintar, lebih tahu, lebih mengerti tentang dunia, sehingga ia menjadi lebih bijak dan mampu hidup bersanding dengan serasi, selaras, dan seimbang dengan semua makhluk. Namun, dalam perjalanannya, pendidikan lebih cenderung disejajarkan dengan perubahan dalam kognitif saja. Indikator psikomotorik dan afektif kemudian lebih banyak dikesampingkan. Lalu, pendekatan ini lambat laun seiring berjalannya waktu dianggap sebagai tumpuan keberhasilan suatu proses pendidikan. Dengan kata lain, seorang anak dikatakan berhasil dalam pendidikannya ketika ia sukses meraih peringkat pertama di kelas, menjadi juara umum, atau lulus dengan angka cumlaude.
Saya tidak menyalahkan jika ada orang tua yang menginginkan anaknya menjadi nomor satu di kelas, selalu memperoleh nilai 10 di setiap ulangan, atau memperoleh juara terbaik dalam lomba-lomba antar sekolah. Hal itu wajar saja karena salah satu tabiat manusia adalah ingin tampil sebagai pribadi terbaik. Namun, yang banyak terjadi kemudian adalah mengedepankan prestasi akademik buat anak dengan mengesampingkan penanaman karakter atau kepribadian luhur yang justru melahirkan generasi-generasi ingin menang sendiri, bahagia sendiri, sukses sendiri, dan cenderung melupakan teman-teman sejawatnya yang lain.
Jadi, tidak mengherankan jika di zaman ini, terutama di negeri kita sendiri, banyak orang-orang pintar, kaya, ahli, penguasa yang terlahir dari proses pendidikan panjang justru terlihat tidak memiliki andil besar terhadap perubahan bangsanya. Orang yang pintar semakin pintar, orang kaya semakin kaya, dan penguasa semakin berkuasa. Sementara di tempat lain, orang miskin semakin miskin, orang bodoh semakin bodoh, dan masyarakat biasa semakin terpinggirkan. Kesenjangan terjadi dimana-mana, entah mulai dari mana untuk memperbaikinya.
Tidak sedikit dari kita yang lupa bahwa inti dari tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah terbentuknya pribadi-pribadi dengan karakter yang baik. Jadi, jika telah nampak di depan mata, saudara-saudara sebangsa kita yang tidak diragukan kepintarannya, diakui kekayaannya, dan dihormati kekuasaannya justru melakukan dosa-dosa terhadap negerinya sendiri dengan melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, sogok-menyogok, konspirasi, dan lain sebagainya, maka apa artinya ini semua? kemana pendidikan kita?
Mengapa hal ini perlu dipertanyakan? Tentu untuk memperbaiki sebuah masalah, kita mesti menelisik akar permasalahannya terlebih dahulu. Mari kita renungkan? Apakah institusi pendidikan di negeri ini tidak lagi mengajarkan pendidikan karakter kepada anak-anak bangsanya sehingga orang-orang berkuasa tidak ingin lagi antri mengisi bahan bakar di pom bensin, atau orang-orang pintar tidak lagi ingin berbagi ilmu dan mengabdi di sekolah-sekolah, atau orang-orang kaya tidak begitu enggan membayar zakat dan bersedekah kepada saudara-saudaranya yang terlilit masalah ekonomi?
Apakah guru-guru sudah lupa mengajarkan berdoa sebelum makan dan minum, atau mengucap salam sebelum memasuki ruangan, atau memegang erat kejujuran dan amanah sebagai falsafah hidup? Ataukah para dosen di perguruan tinggi lebih memilih menyelenggarakan perkuliahan dengan bobot ilmu pengetahuan tertinggi tetapi sudah lupa menanamkan nilai-nilai? Ataukah para orang tua lebih mendahulukan bisnis dan urusan pekerjaan dan lebih mengandalkan pembantu untuk mendidikan anak-anak mereka?
Jika jawabannya tidak, mengapa masih ada pelajar-pelajar negeri ini yang terjerumus nark0ba, tawur4n, dan bahkan bergabung dengan kelompok beg4l yang meresahkan masyarakat? mengapa masih banyak mahasiswa yang dem0 dan mendahulukan kekeras4n ketimbang bermusyawarah ketika menghadapi masalah? dan mengapa banyak anak-anak yang mereasa terasing di rumah sendiri dan lebih akrab dengan pembantu ketimbang dengan orang tuanya sendiri?
Ataukah ada masalah dalam penyelenggaraan proses pendidikan yang belum juga terselesaikan? apakah orang tua, guru-guru, dosen-dosen, hingga pegawai-pegawai terkait di bidang pendidikan sudah berkualifikasi dan pantas menjadi teladan? Sudahkah mereka menyebarkan keteladanan di hari-hari mereka berinteraksi dengan anak-anak bangsa ini? Apakah pihak-pihak berwenang telah sampai di titik ini dengan melakukan pengawasan dan peninjauan mendalam terhadap kesenjangan ini?
Jangan sampai kita terlalu sibuk menghabiskan dana bermilyar-milyar atau triliunan untuk menggonta-ganti kurikulum, buku teks, tata cara evaluasi, dan kebijakan-kebijakan lain yang sifatnya administratif sementara melupakan peran serta keteladanan dan profesionalisme. Apapun kurikulumnya, jika guru-guru dan penyelenggara pendidikan lain belum sampai pada tahap keteladanan dan profesionalisme, maka semua seminar-seminar dan pelatihan-pelatihan (misalnya pelatihan kurikulum 2013, yang kini sedang berlangsung ) akan sulit bersinergi dan berjalan dengan maksimal.
Lalu, bagaimana menciptakan guru-guru, dosen-dosen, dan penyelenggara pendidikan yang hebat, kompeten, dan memiliki roh keteladanan? Salah satu caranya adalah memutus rantai kegagalan di masa lalu. Proses seleksi guru, dosen, dan penyelenggara pendidikan perlu diperketat dan diawasi dengan semaksimal mungkin. Bagaimana mungkin kita mengharapkan tumpuan pendidikan bangsa ini untuk mereka yang hanya lulus tes tertulis? Apakah keteladanan dapat diukur secara valid dan reliabel dari proses seperti itu?
Saya teringat sebuah pepatah kuno yang menyebutkan bahwa salah satu yang merusak karakter manusia modern adalah semakin jauhnya ia dari ajaran-ajaran agama padahal inti dari nilai-nilai karakter terbaik hanya ada di dalam ajaran agama. Hal ini tentu saja dapat juga dijadikan bahan pertimbangan. Oleh karena itu, dalam tes-tes seleksi guru, dosen, dan penyelenggara pendidikan yang lain perlu dimasukkan unsur-unsur agama sebagai syarat. Dengan tujuan, agar terseleksilah calon-calon pendidik bangsa yang dekat dengan agama. Agar kelak, anak-anak bangsa bukan hanya didekatkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi juga dieratkan dengan nilai-nilai karakter agama.
Apabila ini dapat terlaksana dengan baik, kelak akan tercipta generasi-generasi yang penuh keteladanan dan berkarakter baik. Dan nyatanya, memang itulah inti dari tujuan pendidikan yang sesungguhnya.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kepatuhannya melakukan komentar yang sopan, tidak menyinggung S4R4 dan p0rnografi, serta tidak mengandung link aktif, sp4m, iklan n4rk0ba, senj4t4 ap1, promosi produk, dan hal-hal lainnya yang tidak terkait dengan postingan. Jika ada pelanggaran, maaf jika kami melakukan penghapusan sepihak. Terimakasih dan Salam blogger!