INIRUMAHPINTAR - Materi kritik sastra menjadi salah satu mata kuliah yang dipelajari di tingkat perguruan tinggi, khususnya yang mengambil jurusan pendidikan dan sastra bahasa Indonesia. Ada kalanya bapak atau ibu dosen memberikan tugas untuk membuat kritik sastra. Namun, seringkali kita sebagai mahasiswa bingung mau memulai dari mana. Padahal, banyak karya sastra yang bisa dieksekusi menjadi objek kritik sastra, seperti esai, cerpen, novel, roman, puisi, prosa, dan lain sebagainya. Nah, contoh berikut ini bisa dijadikan permodelan sebagai kritik sastra singkat, karena hanya mengandung dua unsur penting, yaitu kelebihan dan kekurangan dari karya sastra. Mari kita baca dengan seksama dalam tempo sesingkat-singkatnya! hehehe...
Katak Hendak Menjadi Lembu
Penulis : Nur Sultan Iskandar
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun Terbit :1978
Suria seorang Mantri Kabupaten di Sumedang. Sifatnya sombong, gila hormat, serta suka mementingkan diri sendiri dan pemboros. Sebagai Mantri Kabupaten, gajinya tidak berapa besar, tetapi hidupnya menyamai hidup orang yang berpangkat tinggi. Perabot rumah tangganya mahal-mahal, memelihara beberapa pelayan, dan anak-anaknya disekolahkan di HIS dan MULO. Semuanya dapat berjalan hanya karena bantuan ayah mertua yang kaya, Haji Hasbullah, dan juga karena kaum priayi di Jawa Barat pada umumnya beroleh kepercayaan kaum pedagang sehingga mereka dapat hidup dengan membon.
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun Terbit :1978
Suria seorang Mantri Kabupaten di Sumedang. Sifatnya sombong, gila hormat, serta suka mementingkan diri sendiri dan pemboros. Sebagai Mantri Kabupaten, gajinya tidak berapa besar, tetapi hidupnya menyamai hidup orang yang berpangkat tinggi. Perabot rumah tangganya mahal-mahal, memelihara beberapa pelayan, dan anak-anaknya disekolahkan di HIS dan MULO. Semuanya dapat berjalan hanya karena bantuan ayah mertua yang kaya, Haji Hasbullah, dan juga karena kaum priayi di Jawa Barat pada umumnya beroleh kepercayaan kaum pedagang sehingga mereka dapat hidup dengan membon.
Yang menderita dan menahankan segala kepahitan tentulah istrinya Zubaedah. Dia yang selalu berhadapan dengan penagih utang, dia juga yang mendengarkan buah tutur orang-orang yang mencela kesombongan dan keborosan suaminya. Dia harus selalu menekan perasaan melihat tingkah laku Suria yang sering berlawanan dengan keinginannya.
Perkenalan Suria dengan Haji Junaedi, seorang haji kaya yang tidak dikenalnya, yang mulanya dianggapnya rendah, ternyata membawa akibat buruk baginya. Suria yang pergi berkunjung ke rumah H. Junaedi melihat anak gadis haji itu, lalu ingin mengawini gadis itu. Tetapi pinangan Suria yang dilakukannya tanpa sepengetahuan istrinya ditolak oleh H. Junaedi, malahan anaknya itu dikawinkannya dengan Kosim, teman sekantor Suria yang amat dibencinya. Suria benci kepada Kosim karena Kosim tamatan Mulo dan dianggapnya dapat menyaingi dia dalam kedudukannya di kantor itu. Dugaannya benar karena pangkat klerk yang diincar-incarnya jatuh ke tangan Kosim. Kemudian Suria ingin memperistri anak gadis H. Junaedi dengan maksud kelak dapat mempergunakan kekayaan istrinya untuk menutup utang-utangnya yang telah melilit tubuh itu. Ini pun gagal dan Kosim pulalah yang beruntung.
Karena kecewa, dia ingin berhenti saja dari jabatannya yang sekarang. Diam-diam diambilnya uang kas dari kantornya. Perbuatannya ini ketahuan oleh atasannya. Untunglah Pak Patih, majikannya, masih mau menolongnya. Suria disuruhnya mengganti uang yang telah terpakai olehnya itu dan sesudah itu disuruhnya mengajukan permohonan berhenti saja. Apa boleh buat, Suria terpaksa menyetujui usul majikannya itu. Suria kemudian melelang barang-barangnya. Uang yang didapat dari hasil lelang itu sebagian dipakai pengganti uang kantor yang digelapkannya dan sebagian lagi dipakai melunasi utang-utangnya. Dia kemudian diberhentikan dari jabatannya. Karena tak bekerja lagi, mereka sekeluarga pindah ke Bandung dan menumpang di rumah anak sulungnya, Abdul Halim, yang ketika itu telah menjadi amtenar.
Di rumah Abdul Halim, Suria mau berkuasa saja. Sikapnya menyakiti perasaan istri dan anaknya. Lebih-lebih istri A. Halim, menantunya, merasa sangat tertekan perasaannya oleh pekerti Suria, ayah mertuanya itu. Segala sesuatu dalam rumah itu diawasi oleh Suria ini dicela, itu ditegur bila tidak sesuai dengan keinginannya.
Nasihat istrinya supaya dia tidak mencampuri urusan rumah tangga anaknya diabaikannya. Akhirnya, karena sukatan telah penuh, timbul pertengkaran antara Suria dengan Abdul Halim. Zubaedah yang terlalu makan hati berulam jantung itu, akhirnya jatuh sakit dan …….meninggal. Kematian ibunya itu menyebabkan Abdul Halim mengambil keputusan menyuruh ayahnya meninggalkan rumah itu.
Dengan marah, Suria turun dari rumah anaknya itu. Tujuannya ialah Jakarta, akan mencari pekerjaan di sana, tetapi usahanya sia-sia saja. Uang bawaannya habis dan pekerjaan pun tak dapat. Maklumlah masa itu musim malaise dan “bezuiniging” (penghematan). Akhirnya kembalilah Suria ke kampungnya, ke desa Rajapolah di Tasikmalaya. Di sana dia menumpang di rumah bekas pelayan ayahnya, orang yang dahulu amat direndahkannya dan dianggapnya hina.
Tak tahan hidup dengan batin yang tertekan seperti itu, pada suatu malam, menjelang subuh, Suria meninggalkan rumah, pergi….pergi dan tak seorang pun yang tahu kemana tujuannya. Suria telah pergi, pergi dan tak pernah kembali, hilang tak tentu rimbanya untuk selama-lamanya. Demikianlah akhir hidup Suria yang tragis itu.
A. KELEBIHAN
B. KEKURANGAN
Karena kecewa, dia ingin berhenti saja dari jabatannya yang sekarang. Diam-diam diambilnya uang kas dari kantornya. Perbuatannya ini ketahuan oleh atasannya. Untunglah Pak Patih, majikannya, masih mau menolongnya. Suria disuruhnya mengganti uang yang telah terpakai olehnya itu dan sesudah itu disuruhnya mengajukan permohonan berhenti saja. Apa boleh buat, Suria terpaksa menyetujui usul majikannya itu. Suria kemudian melelang barang-barangnya. Uang yang didapat dari hasil lelang itu sebagian dipakai pengganti uang kantor yang digelapkannya dan sebagian lagi dipakai melunasi utang-utangnya. Dia kemudian diberhentikan dari jabatannya. Karena tak bekerja lagi, mereka sekeluarga pindah ke Bandung dan menumpang di rumah anak sulungnya, Abdul Halim, yang ketika itu telah menjadi amtenar.
Di rumah Abdul Halim, Suria mau berkuasa saja. Sikapnya menyakiti perasaan istri dan anaknya. Lebih-lebih istri A. Halim, menantunya, merasa sangat tertekan perasaannya oleh pekerti Suria, ayah mertuanya itu. Segala sesuatu dalam rumah itu diawasi oleh Suria ini dicela, itu ditegur bila tidak sesuai dengan keinginannya.
Nasihat istrinya supaya dia tidak mencampuri urusan rumah tangga anaknya diabaikannya. Akhirnya, karena sukatan telah penuh, timbul pertengkaran antara Suria dengan Abdul Halim. Zubaedah yang terlalu makan hati berulam jantung itu, akhirnya jatuh sakit dan …….meninggal. Kematian ibunya itu menyebabkan Abdul Halim mengambil keputusan menyuruh ayahnya meninggalkan rumah itu.
Dengan marah, Suria turun dari rumah anaknya itu. Tujuannya ialah Jakarta, akan mencari pekerjaan di sana, tetapi usahanya sia-sia saja. Uang bawaannya habis dan pekerjaan pun tak dapat. Maklumlah masa itu musim malaise dan “bezuiniging” (penghematan). Akhirnya kembalilah Suria ke kampungnya, ke desa Rajapolah di Tasikmalaya. Di sana dia menumpang di rumah bekas pelayan ayahnya, orang yang dahulu amat direndahkannya dan dianggapnya hina.
Tak tahan hidup dengan batin yang tertekan seperti itu, pada suatu malam, menjelang subuh, Suria meninggalkan rumah, pergi….pergi dan tak seorang pun yang tahu kemana tujuannya. Suria telah pergi, pergi dan tak pernah kembali, hilang tak tentu rimbanya untuk selama-lamanya. Demikianlah akhir hidup Suria yang tragis itu.
KRITIK SASTRA
A. KELEBIHAN
- Jalan ceritanya menarik.
- Cara menggambarkan latar tentang kehidupan di Jawa Barat sebelum perang dunia ke-2 terasa sangat kental sehingga seakan-akan pembaca ikut merasakannya.
- Pengarang menyampaikan pesan tentang perlunya keseimbangan dalam keuangan, menghargai orang lain dan sindiran untuk kaum priayi yang selalu hidup dengan membon sehingga selalu boros.
B. KEKURANGAN
- Komposisi cerita biasa dan mendatar.
- Pengarang terasa lebih banyak berkata-kata dibandingkan buah pikiran dari tokoh sendiri.
- Bahasanya menggunakan bahasa melayu dan terlalu banyak menggunakan peribahasa sehingga kurang sesuai dengan daerah Priangan karena berpepatah hanya kebiasaan orang Melayu.
Demikianlah Contoh Kritik Sastra - Katak Hendak Menjadi Lembu yang tersaji di postingan kali ini. Selamat belajar, semoga bermanfaat!
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kepatuhannya melakukan komentar yang sopan, tidak menyinggung S4R4 dan p0rnografi, serta tidak mengandung link aktif, sp4m, iklan n4rk0ba, senj4t4 ap1, promosi produk, dan hal-hal lainnya yang tidak terkait dengan postingan. Jika ada pelanggaran, maaf jika kami melakukan penghapusan sepihak. Terimakasih dan Salam blogger!