Catatan Guru Profesional: Renungan, Dedikasi, dan Dilema
INIRUMAHPINTAR - Mendedikasikan diri sebagai seorang guru adalah pilihan hidup bagi sebagian orang. Mereka tampil di garda terdepan sebagai sosok-sosok pejuang dalam mendampingi generasi-generasi muda bangsa Indonesia. Meskipun gaji tidak seberapa dan jauh dari kemewahan dibandingkan guru-guru di negeri tetangga, para guru-guru Indonesia gigih melangkah maju, mengajar dan mendidik anak-anak bangsa bagai anak sendiri.
Disadari atau tidak, semua bapak-bapak bangsa yang kini duduk di pemerintahan atau pengusaha-pengusaha kaya yang duduk di singgasana gedung-gedung bertingkat adalah buah didikan seorang guru biasa. Mereka dulunya tidak tahu apa-apa. Lalu dengan penuh kesabaran, para guru mengajar mereka tulis baca sembari mendidik mereka dengan sikap-sikap terpuji. Oleh karena itu, besarnya peran guru dalam membangun bangsa ini tidak usah diragukan lagi.
Di kota maupun di desa, di gunung hingga di pedalaman, guru-guru selalu berupaya menghadirkan diri di hadapan murid-muridnya. Tentu kita pernah melihat atau mendengar tentang kisah guru Indonesia yang rela menyeberangi sungai, laut, atau mendaki gunung demi berjumpa dengan anak-anak didiknya. Mereka melakukan itu selama 6 hari dalam seminggu. Coba bayangkan! betapa berjasanya sosok bersahaja bernama guru.
Sebuah Kenangan bersama Murid-muridku di SDN 100 Dare Bunga-bungae |
Ketika saya mengikuti KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Desa ButtuSawe, Kecamatan Duampanua, Pinrang, Sulawesi Selatan beberapa tahun silam, saya merasakan pengalaman luar biasa. Saya takjub melihat perjuangan seorang ibu guru di sana. Hampir tiap hari, beliau menyeberangi sungai yang memiliki kedalaman sebatas lutut orang dewasa, kadang-kadang jika air meluap, beliau pun rela melintasi ketinggian air yang mencapai perut. Dan tidak hanya itu, beliau pun harus berjalan beberapa km untuk mencapai sebuah sekolah di pegunungan.
Di sebuah acara talkshow di TV nasional yang pernah menayangkan tentang perjuangan seorang guru honor, saya pun belajar banyak hal. Si bapak guru mengaku telah mengajar selama bertahun-tahun tanpa tunjangan, padahal beliau memiliki keluarga yang berhak untuk dihidupi dengan layak. Namun, kata si bapak, untuk menutupi kebutuhan hidup, beliau rela bekerja sebagai petani sepulang mengajar sementara istrinya berjualan es keliling. Mereka hidup bahagia dalam kesederhanaan.
Tentu masih banyak kisah-kisah inspiratif dari perjuangan guru-guru Indonesia dalam menjalankan profesionalismenya. Namun, terlepas dari hal tersebut, pernahkah kita bertanya, minimal ke diri sendiri, wajarkah guru-guru kita dibiarkan hidup seadanya padahal jasanya luar biasa? idealkah mereka dibiarkan hidup serba sederhana padahal tanggung jawab mereka besar bagi bangsa?
Bagi mereka yang telah diangkat menjadi guru PNS dan telah mendapatkan tunjangan sertifikasi bolehlah bernafas lega. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan guru-guru yang masih berstatus tenaga sukarela, honor, atau kontrak? Sudikah negeri ini membiarkan mereka begitu saja? Siapa yang mengangkat mereka? Sudahkah ada standar profesionalisme yang membolehkan mereka menjalankan tugasnya? Sampai kapan pengangkatan guru-guru sukarela, honor, dan kontrak itu dibiarkan? Apakah mereka benar-benar tidak akan diberikan insentif layak hingga kapanpun?
Saya yakin, pemerintah mengalami dilema saat ini. Tunjangan sertifikasi diberikan untuk guru-guru yang telah membuktikan dedikasi dan kualifikasi. Pertanyaannya adalah seberapa jauh ukuran dedikasi dan kualifikasi tersebut? Sudahkah pemerintah memantau benar-benar bagaimana kompetensi dan performa guru-guru tersebut secara rutin? Siapa pemantaunya? Sudah berbanding luruskah pemberian sertifikasi tersebut terhadap kinerja dan peningkatan kualitas pendidikan? Jika ya, apa indikatornya? Jika tidak, apa buktinya?
Belum selesai persoalan satu, di waktu bersamaan muncul persoalan baru. Tercatat hingga 2017, tidak sedikit guru-guru kita telah pensiun. Itu berarti kebutuhan guru di tiap-tiap sekolah semakin meningkat. Sayangnya, tidak ada perekrutan CPNS. Jadi, untuk mengisi kekosongan jam mengajar, sekolah menerima tenaga sukarela. Anehnya, meski tidak digaji, para lulusan jurusan pendidikan guru banyak juga yang menawarkan diri menjadi guru sukarela. Jadi, sekolah tidak kesulitan menemukan tenaga pengajar, meski dari segi profesionalisme masih perlu diuji.
Isu yang beredar, negara melakukan moratorium penerimaan CPNS karena kurangnya anggaran negara. Entah itu benar atau tidak, keadaan telah menuntut guru-guru yang telah pensiun mestinya diganti dengan yang baru, yang lebih profesional, berdedikasi, berkarakter, dan siap dengan tuntutan zaman. Akankah negara membiarkan nasib pendidikan kita di tangan para tenaga sukarela? Bukan meremehkan, tetapi tentu yang diseleksi profesional lebih menjamin bukan?
Sampai kapan masalah ini akan diselesaikan? bukankah persoalan ini jauh lebih urgent dibandingkan melakukan gonta-ganti dan revisi kurikulum? Jika para guru telah profesional, memiliki kompetensi, karakter dan performa di atas rata-rata, maka tanpa ada kurikulum yang mahal mereka mampu menghadirkan pengajaran yang berkualitas. Tinggal tugas pemerintah memikirkan metode terbaik dalam rekrutment agar yang terseleksi menjadi guru kemudian adalah yang benar-benar pantas.
Yah, tulisan ini hanyalah sebatas ide dan gagasan seorang pemerhati pendidikan. Siapapun yang membaca semoga dapat mengambil hikmah. Andai ada pemangku kebijakan yang sempat berkunjung di blog ini, moga bisa menjadikan tulisan ini sebagai renungan sehingga berdampak baik bagi kebijakan pendidikan bangsa ini. Akhir kata, mohon maaf atas segala kekhilafan. Mudah-mudahan catatan ini bermanfaat dan menjadi saksi transformasi majunya pendidikan di Indonesia.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kepatuhannya melakukan komentar yang sopan, tidak menyinggung S4R4 dan p0rnografi, serta tidak mengandung link aktif, sp4m, iklan n4rk0ba, senj4t4 ap1, promosi produk, dan hal-hal lainnya yang tidak terkait dengan postingan. Jika ada pelanggaran, maaf jika kami melakukan penghapusan sepihak. Terimakasih dan Salam blogger!