INIRUMAHPINTAR -Apa sih fiksi itu? Apa perbedaannya dengan nonfiksi? apakah memiliki kesamaan dengan mitos? bagaimana perbandingannya dengan fakta? Materi berikut ini diharapkan mampu memberikan pencerahan dan jawaban akurat tentang sejumlah pertanyaan yang masih sering diajukan para penggiat sastra bahasa Indonesia.
Krismarsanti (2009: 1) menyatakan bahwa fiksi adalah karangan yang berisi kisahan atau cerita yang dibuat berdasarkan khayalan atau imajinasi pengarang. Fiksi berusaha menghidupkan perasaan atau menggugah emosi pembacanya melalui kata-kata yang digunakan dan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Fiksi berasal dari fiction yang berarti rekaan, khayalan. Cabang sastra yang tergolong prosa fiksi adalah cerpen, novel, dan roman. Istilah lain tentang fiksi adalah cerita rekaan. Menurut Thani Ahmad, cerita rekaan adalah sebuah tulisan naratif yang timbul dari imajinasi pengarang dan tidak mementingkan segi fakta sejarah. Tarigan menyatakan bahwa fiksi adalah suatu cerita yang disusun secara imajinatif.
Kata bahasa Inggris Fiktion diturunkan dari bahasa Latin fictio yang berarti "membentuk, membuat, mengadakan, menciptakan". Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa cerita fiksi adalah cerita yang dibentuk, cerita yang dibuat, cerita yang diadakan, atau cerita yang diciptakan. Artinya, cerita itu semula tidak ada, kemudian sengaja dibentuk, dibuat, diadakan, atau diciptakan menjadi ada dengan kekuatan berkhayal. Jadi, lahirnya cerita fiksi karena direka-reka atau dikarang-karang. Itulah sebabnya, cerita fiksi juga disebut cerita rekaan.
Prosa merupakan karangan bebas yang mengekspresikan pengalaman batin pengarang mengenai masalah kehidupan dalam bentuk dan isi yang harmonis yang menimbulkan kesan estetik. Bentuk merupakan alat yang dipakai pengarang untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya, seperti bahasa dan gaya bahasa yang menimbulkan kesan estetik, bentuk disebut juga teknik sastra. Isi merupakan segala yang hendak diungkapkan pengarang berupa pemikiran, ide-ide, cita-cita, tafsiran peristiwa-peristiwa kehidupan, dan lain-lain.
Dengan kata lain, cerita yang disajikan dalam bentuk karya fiksi haruslah mencerminkan konteks sosial tertentu, terjadi dalam konteks kehidupan yang secara alamiah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, menggunakan bahasa yang mengandung imajinasi/bermakna konotasi, dan dalam penyajiannya haruslah mengandung pesan-pesan moral yang secara implisit ataupun eksplisit bisa ditafsirkan oleh pembaca.
Semi (2008: 77-78) mengatakan bahwa karya fiksi mengandung beberapa aspek atau ciri penanda yaitu adanya unsur cerita, situasi bahasa teks fiksi tidak homogen, adanya peristiwa yang diceritakan, dan susunan peristiwa yang disusun secara kronologis. Fiksi merupakan cerita tentang kehidupan manusia yang bersifat fiktif karena hanya berupa rekaan pengarang. Gaya penceritaan pengarang bersifat tidak homogen, pengarang atau pencerita tidak harus dia yang bertutur, tetapi memberikan kesempatan kepada penutur sekunder untuk bercerita sehingga menghasilkan dialog. Cerita yang disajikan dalam fiksi berupa cerita fiktif, apabila memiliki kesamaan dengan realita, itu hanya kebetulan belaka. Dalam menyajikan cerita biasanya disajikan dengan urutan kronologis sehingga menggambarkan konflik dan rasa ingin tahu pembaca.
Ciri utama prosa fiksi sehingga dapat dibedakan dengan drama dan puisi adalah aspek naratif. Dengan adanya aspek naratif ini menghasilkan gaya penceritaan yang beragam antar masing-masing pengarang. Aspek naratif ini tidak hanya bertumpu kepada pencerita sebagai pembicara primer, tetapi juga diberikan kesempatan kepada pembicara sekunder seperti tokoh-tokoh untuk bercerita. Sebagai aspek naratif, fiksi juga mengandung cerita yang bersifat fiktif dan disajikan secara kronologis. Meskipun cerita fiksi bersifat fiktif, tetap tidak boleh terasa ganjil dan berbeda dengan peristiwa yang umumnya dialami manusia secara realitas. Supaya menggambarkan konflik, maka harus disajikan secara kronologis. Apabila cerita tidak disajikan secara kronologis, maka ia akan kehilangan bentuk sebagai cerita naratif.
Krismarsanti (2009:1) menyatakan bahwa bahasa fiksi merupakan kisah rekaan dengan bahasa yang mengandung makna denotatif dan konotatif. Fiksi dipengaruhi oleh subjektivitas pengarangnya sehingga mampu menggugah perasaan dan membangkitkan emosi pembacanya. walaupun fiksi merupakan kisah rekaan, tidak boleh dibuat sembarangan. Tema, penokohan, plot, latar, dan permasalahan harus diperhatikan. Pengarang dapat dengan bebas menuliskan sesuatu untuk menyampaikan pesan kepada pembaca dan pembaca pun dapat dengan bebas menerjemahkan makna yang terkandung dalam fiksi. Oleh karena itu, fiksi memiliki tafsiran yang beragam atau menimbulkan bermacam-macam makna.
Berdasarkan tabel di atas, bahwa pada hakikatnya baik fiksi maupun nonfiksi bersumber dari kehidupan sehari-hari, hanya saja cara penyajiannya saja berbeda. Fiksi mengandung fakta dan peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi dalam kehidupan yang dibumbui oleh imajinasi pengarang. Fakta ataupun peristiwa sejarah yang disajikan pengarang dalam karya fiksi tidak persis sama dengan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari baik nama, tempat, maupun kronologi peristiwanya. Fakta dan peristiwa kehidupan hanya dijadikan sebagai sumber penceritaan saja oleh pengarang. Fakta dan peristiwa kehidupan yang dibumbui dengan imajinasi pengarang itu dapat ditemukan dalam bentuk cerpen, novel, roman, novelet, dan cerita bersambung. Dalam menyajikan peristiwa kehidupan sangat ditonjolkan subjektivitas pengarang.
Pengarang tidak terikat dengan penerimaan pembaca. Pengarang bebas berimajinasi sesuai gaya dan ciri khas yang dimilikinya. Bahasa yang digunakan pengarang bisa saja bermakna konotatif dan denotatif. Oleh karena itu, pembaca dapat menafsirkan cerita dengan cara yang berbeda-beda sesuai pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh pembaca.
Berbeda dengan nonfiksi, fakta dan peristiwa kehidupan disajikan apa adanya sesuai yang terjadi dalam kehidupan, fakta dan peristiwa sejarah disajikan secara jelas, akurat, dan secara faktual dalam bentuk esai, feature, kolom, artikel, resensi, dan opini. Dalam menyajikan fakta dan peristiwa kehidupan harus diperhatikan penerimaan pembaca. Bahasa yang digunakan pun haruslah masuk akal, logis, dan bisa dipahami oleh pembaca.
Sikap pemujaan yang demikian kemudian ada yang dimanifestasikan berupa upacara keagamaan (Titus), yang dilakukan secara periodik dalam waktu-waktu tertentu. Sebagian pula berupa tutur yang disampaikan dan mulut ke mulut sepanjang masa, turun-temurun, dan yang kini kita kenali sebagai cerita rakyat atau folklore. Biasanya untuk menyampaikan asal-usul sesuatu kejadian istimewa yang tidak akan terlupakan. Demikianlah yang terjadi di masa-masa lampau, atau di daerah-daerah terbelakang, dengan alam pikiran manusia yang masih kuat dikuasai oleh kekolotan.
Jika pengertian mitos di atas dibandingkan dengan definisi fiksi, maka persamaan mendasar antara fiksi dan mitos adalah sama-sama merupakan cerita rekaan/khayalan. Sedangkan perbedaannya adalah fiksi merupakan cerita khayalan yang masih masuk akal serta sejalan dan mirip dengan kehidupan nyata sedangkan mitos adalah cerita khayalan yang tidak terjangkau akal, tetapi banyak dijadikan kepercayaan turun temurun oleh kelompok masyarakat tertentu dan diyakini kebenarannya.
Pendapat lain mengatakan bahwa novel dan roman berbeda dari segi kedalaman cerita. Tokoh roman tidak selalu diceritakan sampai meninggal ada juga yang masih terus hidup. Roman adalah cerita fiksi yang melukiskan kronik kehidupan tokoh-tokoh yang rinci dan mendalam, sedangkan novel adalah cerita fiksi yang melukiskan suatu peristiwa yang luar biasa dan kehidupan tokoh cerita, peristiwa itu menimbulkan krisis/pergolakan batin yang mengubah nasibnya.
Selain fungsi di atas, fungsi fiksi juga dapat dihubungkan dengan fungsi sastra secara umum yaitu fungsi rekreatif dan fungsi didaktif. Dengan membaca karya sastra, seseorang dapat memperoleh kesenangan dan hiburan, yaitu bisa mengembara, berekreasi, dan memperoleh suguhan kisah dan imajinasi pengarang mengenai berbagai kehidupan manusia. Pembaca akan merasa terhibur, puas, dan memperoleh pengalaman batin tentang tafsir hidup dan kehidupan manusia yang disajikan pengarang.
Dengan membaca karya sastra, seseorang dapat memperoleh pengetahuan tentang seluk beluk kehidupan manusia dan pelajaran tentang nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang ada di dalamnya sehingga akan bangkit kreativitas dan emosi pembaca untuk berbuat sesuatu baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.
Kosasih (2008:5) menyatakan bahwa karya sastra yang mengutamakan aspek hiburan disebut sastra populer dan karya sastra yang menitikberatkan fungsinya pada didaktik disebut sastra serius. Jika dihubungkan dengan fiksi, maka yang berfungsi sebagal hiburan adalah fiksi populer dan yang berfungsi sebagai pendidikan/didaktik adalah fiksi serius.
Muhardi dan Hassanudin (1992:21) menyatakan bahwa unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik prosa flksi terdiri atas unsur utamna dan unsur penunjang. Unsur intrinsik terdiri atas unsur utama/makna berupa alur, penokohan, latar, permasalahan, tema dan amanat. Unsur penunjang/bahasa terdiri atas gaya bahasa dan sudut pandang. Unsur ekstrinsik juga dibedakan atas unsur utama dan unsur penunjang. Unsur utama pengarang dibedakan atas sensitivitas/ kepekaan, imajinasi, intelektualitas, dan pandangan hidup. Unsur penunjang/realitas objektif terdiri atas norma-norma, ideologi, tata nilai, konvensi budaya, konvensi sastra, dan konvensi bahasa.
Referensi:
Demikianlah penjelasan lengkap tentang Pengertian, Ciri-ciri, Bentuk, Fungsi, Unsur Fiksi. Semoga bermanfaat!Pengertian Fiksi Menurut Ahli dan Berbagai Sumber
Semi (2008:76) mengatakan bahwa fiksi merupakan jenis narasi literer dan berupa cerita rekaan. Fiksi merupakan cerita rekaan karena yang diceritakan adalah peristiwa kehidupan yang pada dasarnya merupakan peristiwa kehidupan hasil rekaan pengarang yang realitasnya tidak terlalu dipersoalkan. Jika seorang pengarang menulis karya sastra bertolak dari kehidupan sehari-hari, maka pembaca tidak akan menemui peristiwa itu persis sama dengan yang diceritakan pengarang.Krismarsanti (2009: 1) menyatakan bahwa fiksi adalah karangan yang berisi kisahan atau cerita yang dibuat berdasarkan khayalan atau imajinasi pengarang. Fiksi berusaha menghidupkan perasaan atau menggugah emosi pembacanya melalui kata-kata yang digunakan dan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Fiksi berasal dari fiction yang berarti rekaan, khayalan. Cabang sastra yang tergolong prosa fiksi adalah cerpen, novel, dan roman. Istilah lain tentang fiksi adalah cerita rekaan. Menurut Thani Ahmad, cerita rekaan adalah sebuah tulisan naratif yang timbul dari imajinasi pengarang dan tidak mementingkan segi fakta sejarah. Tarigan menyatakan bahwa fiksi adalah suatu cerita yang disusun secara imajinatif.
Kata bahasa Inggris Fiktion diturunkan dari bahasa Latin fictio yang berarti "membentuk, membuat, mengadakan, menciptakan". Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa cerita fiksi adalah cerita yang dibentuk, cerita yang dibuat, cerita yang diadakan, atau cerita yang diciptakan. Artinya, cerita itu semula tidak ada, kemudian sengaja dibentuk, dibuat, diadakan, atau diciptakan menjadi ada dengan kekuatan berkhayal. Jadi, lahirnya cerita fiksi karena direka-reka atau dikarang-karang. Itulah sebabnya, cerita fiksi juga disebut cerita rekaan.
Prosa merupakan karangan bebas yang mengekspresikan pengalaman batin pengarang mengenai masalah kehidupan dalam bentuk dan isi yang harmonis yang menimbulkan kesan estetik. Bentuk merupakan alat yang dipakai pengarang untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya, seperti bahasa dan gaya bahasa yang menimbulkan kesan estetik, bentuk disebut juga teknik sastra. Isi merupakan segala yang hendak diungkapkan pengarang berupa pemikiran, ide-ide, cita-cita, tafsiran peristiwa-peristiwa kehidupan, dan lain-lain.
Aspek/Ciri Penanda Prosa Fiksi
Fiksi sebagai bagian dari karya sastra, menurut Luxemburg (1984) memiliki ciri pragmatik, sintaksis, dan semantik. Secara pragmatik menyangkut perbuatan, ungkapan bahasa pembicara dalam konteks sosial tertentu dalam satu kesatuan. Secara sintaksis, unsur-unsur bahasa yang digunakan memperlihatkan suatu pertautan. Secara semantik merupakan tema yang berfungsi merumuskan makna simbolik unsur-unsur bahasa teks, temanya bisa saja implisit atau eksplisit.Dengan kata lain, cerita yang disajikan dalam bentuk karya fiksi haruslah mencerminkan konteks sosial tertentu, terjadi dalam konteks kehidupan yang secara alamiah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, menggunakan bahasa yang mengandung imajinasi/bermakna konotasi, dan dalam penyajiannya haruslah mengandung pesan-pesan moral yang secara implisit ataupun eksplisit bisa ditafsirkan oleh pembaca.
Semi (2008: 77-78) mengatakan bahwa karya fiksi mengandung beberapa aspek atau ciri penanda yaitu adanya unsur cerita, situasi bahasa teks fiksi tidak homogen, adanya peristiwa yang diceritakan, dan susunan peristiwa yang disusun secara kronologis. Fiksi merupakan cerita tentang kehidupan manusia yang bersifat fiktif karena hanya berupa rekaan pengarang. Gaya penceritaan pengarang bersifat tidak homogen, pengarang atau pencerita tidak harus dia yang bertutur, tetapi memberikan kesempatan kepada penutur sekunder untuk bercerita sehingga menghasilkan dialog. Cerita yang disajikan dalam fiksi berupa cerita fiktif, apabila memiliki kesamaan dengan realita, itu hanya kebetulan belaka. Dalam menyajikan cerita biasanya disajikan dengan urutan kronologis sehingga menggambarkan konflik dan rasa ingin tahu pembaca.
Ciri utama prosa fiksi sehingga dapat dibedakan dengan drama dan puisi adalah aspek naratif. Dengan adanya aspek naratif ini menghasilkan gaya penceritaan yang beragam antar masing-masing pengarang. Aspek naratif ini tidak hanya bertumpu kepada pencerita sebagai pembicara primer, tetapi juga diberikan kesempatan kepada pembicara sekunder seperti tokoh-tokoh untuk bercerita. Sebagai aspek naratif, fiksi juga mengandung cerita yang bersifat fiktif dan disajikan secara kronologis. Meskipun cerita fiksi bersifat fiktif, tetap tidak boleh terasa ganjil dan berbeda dengan peristiwa yang umumnya dialami manusia secara realitas. Supaya menggambarkan konflik, maka harus disajikan secara kronologis. Apabila cerita tidak disajikan secara kronologis, maka ia akan kehilangan bentuk sebagai cerita naratif.
Krismarsanti (2009:1) menyatakan bahwa bahasa fiksi merupakan kisah rekaan dengan bahasa yang mengandung makna denotatif dan konotatif. Fiksi dipengaruhi oleh subjektivitas pengarangnya sehingga mampu menggugah perasaan dan membangkitkan emosi pembacanya. walaupun fiksi merupakan kisah rekaan, tidak boleh dibuat sembarangan. Tema, penokohan, plot, latar, dan permasalahan harus diperhatikan. Pengarang dapat dengan bebas menuliskan sesuatu untuk menyampaikan pesan kepada pembaca dan pembaca pun dapat dengan bebas menerjemahkan makna yang terkandung dalam fiksi. Oleh karena itu, fiksi memiliki tafsiran yang beragam atau menimbulkan bermacam-macam makna.
Perbedaan Fiksi dengan Nonfiksi
Fiksi dan nonfiksi sama-sama berbentuk naratif, akan tetapi keduanya memiliki perbedaan. Krismarsanti (2009:7) menyatakan fiksi dan nonfiksi berbeda dan segi isi, bentuk, dan bahasa yang digunakan. Perbedaan karangan fiksi dan nonfiksi dapat dilihat pada tabel berikut ini.Berdasarkan tabel di atas, bahwa pada hakikatnya baik fiksi maupun nonfiksi bersumber dari kehidupan sehari-hari, hanya saja cara penyajiannya saja berbeda. Fiksi mengandung fakta dan peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi dalam kehidupan yang dibumbui oleh imajinasi pengarang. Fakta ataupun peristiwa sejarah yang disajikan pengarang dalam karya fiksi tidak persis sama dengan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari baik nama, tempat, maupun kronologi peristiwanya. Fakta dan peristiwa kehidupan hanya dijadikan sebagai sumber penceritaan saja oleh pengarang. Fakta dan peristiwa kehidupan yang dibumbui dengan imajinasi pengarang itu dapat ditemukan dalam bentuk cerpen, novel, roman, novelet, dan cerita bersambung. Dalam menyajikan peristiwa kehidupan sangat ditonjolkan subjektivitas pengarang.
Pengarang tidak terikat dengan penerimaan pembaca. Pengarang bebas berimajinasi sesuai gaya dan ciri khas yang dimilikinya. Bahasa yang digunakan pengarang bisa saja bermakna konotatif dan denotatif. Oleh karena itu, pembaca dapat menafsirkan cerita dengan cara yang berbeda-beda sesuai pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh pembaca.
Berbeda dengan nonfiksi, fakta dan peristiwa kehidupan disajikan apa adanya sesuai yang terjadi dalam kehidupan, fakta dan peristiwa sejarah disajikan secara jelas, akurat, dan secara faktual dalam bentuk esai, feature, kolom, artikel, resensi, dan opini. Dalam menyajikan fakta dan peristiwa kehidupan harus diperhatikan penerimaan pembaca. Bahasa yang digunakan pun haruslah masuk akal, logis, dan bisa dipahami oleh pembaca.
Perbedaan Fiksi dengan Mitos
Mitos adalah semacam takhayul sebagai akibat ketidaktahuan manusia, tetapi bawah sadarnya memberitahukan tentang adanya sesuatu kekuatan yang menguasai dirinya serta alam lingkungannya. Bawah sadar inilah kemudian menumbuhkan rekaan: rekaan dalam pikiran, yang lambat laun berubah menjadi kepercayaan. Biasanya dibarengi dengan rasa ketakjuban, atau ketakutan, atau kedua-duanya. Dan dalam reaksinya lalu timbul rasa hormat yang berlebih-lebihan, yang melahirkan sikap pemujaan (kultus).Sikap pemujaan yang demikian kemudian ada yang dimanifestasikan berupa upacara keagamaan (Titus), yang dilakukan secara periodik dalam waktu-waktu tertentu. Sebagian pula berupa tutur yang disampaikan dan mulut ke mulut sepanjang masa, turun-temurun, dan yang kini kita kenali sebagai cerita rakyat atau folklore. Biasanya untuk menyampaikan asal-usul sesuatu kejadian istimewa yang tidak akan terlupakan. Demikianlah yang terjadi di masa-masa lampau, atau di daerah-daerah terbelakang, dengan alam pikiran manusia yang masih kuat dikuasai oleh kekolotan.
Jika pengertian mitos di atas dibandingkan dengan definisi fiksi, maka persamaan mendasar antara fiksi dan mitos adalah sama-sama merupakan cerita rekaan/khayalan. Sedangkan perbedaannya adalah fiksi merupakan cerita khayalan yang masih masuk akal serta sejalan dan mirip dengan kehidupan nyata sedangkan mitos adalah cerita khayalan yang tidak terjangkau akal, tetapi banyak dijadikan kepercayaan turun temurun oleh kelompok masyarakat tertentu dan diyakini kebenarannya.
Perbedaan Fiksi dengan Fakta
Lalu apa perbedaan fakta dengan fiksi? Secara singkat Fiksi, adalah suatu yang bersifat khayali, subyektif, dan tak sesungguhnya terjadi. Sedangkan fakta, adalah suatu yang bersifat ilmiah, obyektif, dan sungguh-sungguh nyata terjadi. Dengan kata lain, cerita fiksi benar-benar tercipta dengan mengandalkan kreativitas pengarang sebagai pencipta seluruh komponen cerita. Sedangkan fakta merupakan cerita yang sesuai dengan kenyataan, dapat dibuktikan secara ilmiah, dan tidak tercampur oleh hasil karangan atau opini pengarang.Bentuk-bentuk Prosa Fiksi
Bentuk-bentuk prosa fiksi dapat dibedakan menjadi empat bentuk, yaitu cerpen, roman, novel, dan novelet. Cerpen adalah suatu cerita yang melukiskan suatu peristiwa (kejadian) yang menyangkut persoalan jiwa/kehidupan manusia. Menurut Jasin (1959: 36-41) roman merupakan cerita yang melingkupi seluruh kehidupan tokoh, pelaku-pelakunya dilukiskan dari kecilnya hingga matinya, dari ayunan hingga ke kubur. Novel merupakan suatu karangan yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari tokoh cerita, kejadian-kejadian itu menimbulkan pergolakan batin yang mengubah perjalanan nasib tokohnya. Novelet merupakan bentuk novel yang lebih terbatas, secara umum novelet sama dengan novel tetapi memiliki keterbatasan dari segi jumlah halaman.Pendapat lain mengatakan bahwa novel dan roman berbeda dari segi kedalaman cerita. Tokoh roman tidak selalu diceritakan sampai meninggal ada juga yang masih terus hidup. Roman adalah cerita fiksi yang melukiskan kronik kehidupan tokoh-tokoh yang rinci dan mendalam, sedangkan novel adalah cerita fiksi yang melukiskan suatu peristiwa yang luar biasa dan kehidupan tokoh cerita, peristiwa itu menimbulkan krisis/pergolakan batin yang mengubah nasibnya.
Fungsi Fiksi
Karya prosa fiksi ditulis agar pembaca dapat mengambil hikmah dari cerita yang disajikan pengarang. Tokoh yang mengalami peristiwa dan cara tokoh menyelesaikan permasalahan dalam cerita dapat dijadikan pelajaran bagi pembaca dalam menyelesaikan segala permasalahan dalam hidupnya. Hal ini memperlihatkan betapa prosa fiksi berfungsi penting dalam kehidupan sehari-hari. Muhardi dan Hasanuddin (1992:12) menyatakan bahwa fiksi berfungsi untuk hal-hal berikut ini:- Menyuburkan nilai-nilai praktis dan memperkaya nilal-nilal normatif dan nilai-nilai estetis. Nilai-nilai praktis diserap fiksi berdasarkan permasalahan realitas objektif yang dijadikan titik tolak penceritaan. Nilai-nilai normatif dan estetis terdapat dalam fiksi berdasarkan hasil penalaran dan pengolahan kematangan intelektual dan visi pengarang.
- Media untuk penularan pikiran kreatif, kepekaan rasa, kemapanan visi, kebijakan, dan kearifan pengarang kepada pembacanya. Fiksi juga sebagai media transformasi pemikiran budaya yang pada dasarnya memuat nilai-nilai normatif dan estetis dalam lingkungan budaya tertentu. Fiksi tidak hanya sekadar ekspresi budaya, tetapi sekaligus sebagai alat pengendali budaya. Secara praktis fiksi merupakan alat pendidikan peradaban dan kebudayaan. Fiksi alat pematang emosional dan pengasah rasional.
- Fiksi pada hakikatnya merangsang pembaca untuk mengenali, menghayati, menganalisis, dan merumuskan nilal-nilai kemanusiaan. Secara halus dan pasti nilai-nilai itu menjadi terjaga dan berkembang dalam diri pembaca. Pada akhirnya nilai-nilai itu menjadi motivasi dan stabilisasi kepribadian dan perilakunya.
Selain fungsi di atas, fungsi fiksi juga dapat dihubungkan dengan fungsi sastra secara umum yaitu fungsi rekreatif dan fungsi didaktif. Dengan membaca karya sastra, seseorang dapat memperoleh kesenangan dan hiburan, yaitu bisa mengembara, berekreasi, dan memperoleh suguhan kisah dan imajinasi pengarang mengenai berbagai kehidupan manusia. Pembaca akan merasa terhibur, puas, dan memperoleh pengalaman batin tentang tafsir hidup dan kehidupan manusia yang disajikan pengarang.
Dengan membaca karya sastra, seseorang dapat memperoleh pengetahuan tentang seluk beluk kehidupan manusia dan pelajaran tentang nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang ada di dalamnya sehingga akan bangkit kreativitas dan emosi pembaca untuk berbuat sesuatu baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.
Kosasih (2008:5) menyatakan bahwa karya sastra yang mengutamakan aspek hiburan disebut sastra populer dan karya sastra yang menitikberatkan fungsinya pada didaktik disebut sastra serius. Jika dihubungkan dengan fiksi, maka yang berfungsi sebagal hiburan adalah fiksi populer dan yang berfungsi sebagai pendidikan/didaktik adalah fiksi serius.
Unsur Pembangun Fiksi
Analisis karya sastra dilakukan dengan memahami bahasa yang digunakan. Karya sastra cenderung menarik dan segi bahasa dan sudut pandang yang digunakan pengarang. Karya prosa mengandung dua unsur yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Stanton (1965) menyatakan bahwa unsur pembangun fiksi dibedakan atas makna cerita, fakta cerita, dan sarana cerita. Makna cerita berupa tema. Fakta cerita terdiri atas plot, tokoh, dan latar. Sarana cerita terdiri atas judul, sudut pandang, gaya dan nada.Muhardi dan Hassanudin (1992:21) menyatakan bahwa unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik prosa flksi terdiri atas unsur utamna dan unsur penunjang. Unsur intrinsik terdiri atas unsur utama/makna berupa alur, penokohan, latar, permasalahan, tema dan amanat. Unsur penunjang/bahasa terdiri atas gaya bahasa dan sudut pandang. Unsur ekstrinsik juga dibedakan atas unsur utama dan unsur penunjang. Unsur utama pengarang dibedakan atas sensitivitas/ kepekaan, imajinasi, intelektualitas, dan pandangan hidup. Unsur penunjang/realitas objektif terdiri atas norma-norma, ideologi, tata nilai, konvensi budaya, konvensi sastra, dan konvensi bahasa.
Referensi:
- Dina Ramadhanti. 2016. Buku Ajar Apresiasi Prosa Indonesia. Yogyakarta: Deepublish.
- Soenarto Timur. 2010. Mitos Cura-Bhaya. Jakarta: Balai Pustaka.
- Kusnadi. 2002. Konflik sosial nelayan: kemiskinan dan perebutan sumber daya perikanan. Yogyakarata: LKiS.
- Asul Wiyanto. Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA & MA Kelas XII. Grasindo.
makasih jelas sekali
ReplyDeletesama-sama, Pak. Terima kasih juga atas kunjungannya ke blog ini. :)
Deletebagus, lengkap.
ReplyDelete