INIRUMAHPINTAR - Pembahasan kali ini mengenai pengertian, sejarah singkat perkembangan Bahasa Indonesia dari waktu ke waktu dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam penyusunan ejaan tersebut. Materi ini dikumpulkan dari sejumlah buku pilihan. Informasi judul buku dan pengarang yang disertakan di bagian akhir tulisan ini memberi panduan pembaca untuk membeli buku-buku tersebut di toko buku terdekat sekiranya membutuhkan informasi lebih lanjut. Tanpa berpanjang lebar lagi, berikut penjelasan materinya:
Pengertian Ejaan dalam Bahasa Indonesia
sumber referensi : www.flickr.com |
Ejaan adalah penggambaran bunyi bahasa (kata, kalimat, dsb) dengan kaidah tulisan (huruf) yang distandardisasikan dan mempunyai makna. Ejaan memiliki tiga aspek, yaitu aspek fonologis (abjad), aspek morfologis (satuan-satuan morfem), dan aspek sintaksis (tanda baca).
Ejaan juga dapat diartikan sebagai kaidah tulis menulis baku yang didasarkan pada penggambaran bunyi. Ejaan tidak hanya mengatur cara memakai huruf, tetapi juga cara menulis kata dan cara menggunakan tanda baca.
Ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana menggambarkan lambang-lambang bunyi ujaran dan bagaimana interrelasi antara lambang-lambang itu dalam suatu bahasa. Dalam sistem ejaan suatu bahasa ditetapkan:
Hal tersebut menjadi lebih ruwet lagi karena bahasa Melayu digunakan di Hindia Belanda (Indonesia) yang dijajah Belanda, dan Tanah Semenanjung (Malaysia) yang dijajah Inggris. Dengan demikian, cara mengeja bahasa Melayu pun dipengaruhi oleh bahasa penjajahnya, yaitu bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Oleh karena itu, pada tahun 1987 A.A.Fokker, Sr. mengusulkan penyeragaman ejaan melayu dengan huruf latin di dua daerah jajahan tersebut. Pada tahun 1901 Ch.A. van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma’mur dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun sebuah sistem ejaan guna mengakhiri kekacauan ejaan sampai saat itu di Hindia Belanda. Ejaan itu dimuat dalam buku Kitab Logat Melajoe. Ejaannya dikenal dengan nama Ejaan van Ophuijsen.
Dua tahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Soewandi, menetapkan penyusunan ejaan yang lebih sederhana daripad Ejaan van Ophuijsen. Ejaan itu diberi nama Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi. Inisiatif Soewandi untuk menyederhanakan dan menyelaraskan ejaan dengan perkembangan bahasa mendapat sambutan baik.
Masalah ejaan muncul kembali ketika diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia Kedua di Medan pada tahun 1954. Dalam kongres itu diputuskan membentuk sebuah panitia yang menyusun peraturan ejaan bahasa Indonesia yang praktis. Pada tahun 1957 panitia ini berhasil menyusun sebuah ejaan yang dinamakan Ejaan Pembaharuan.
Selanjutnya pada tahun 1959 terjadi kesepakatan antara Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu (Malaysia) untuk menyamakan ejaan bahasa di kedua negara itu. Konsep ejaan yang disusun dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Namun, karena terjadi konfrontasi dengan Malaysia, peresmian ejaan ini diurungkan. Setelah masa konfrontasi dengan Malaysia, usaha penyamaan ejaan tahun 1959 dihidupkan kembali. Pada tahun 1972 Presiden RI menetapkan ejaan baru yang bernama Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Ejaan inilah yang kita pakai hingga saat ini. Pada tahun 1972 itu juga pemerintah Malaysia meresmikan Ejaan Baru Bahasa Malaysia. Walaupun namanya berlainan, pada intinya kedua ejaan itu sama.
Perlu juga diketahui bahwa Ejaan Pembaruan 1957, Ejaan Melindo, dan Ejaan Baru 1966 belum pernah diresmikan. Namun, antara Ejaan Baru 1966 dan EYD 1972 terdapat persamaan dalam pemakaian huruf. Perbedaan keduanya hanya terletak pada perincian kaidah-kaidahnya saja.
Ejaan juga dapat diartikan sebagai kaidah tulis menulis baku yang didasarkan pada penggambaran bunyi. Ejaan tidak hanya mengatur cara memakai huruf, tetapi juga cara menulis kata dan cara menggunakan tanda baca.
Ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana menggambarkan lambang-lambang bunyi ujaran dan bagaimana interrelasi antara lambang-lambang itu dalam suatu bahasa. Dalam sistem ejaan suatu bahasa ditetapkan:
- Bagaimana fonem dilambangkan dengan huruf
- Bagaimana satuan-satuan morfologis, seperti kata dasar, kata ulang, kata berimbuhan, dan kata majemuk dituliskan.
- Bagaimana menuliskan kalimat dan bagian-bagian kalimat.
- Bagaimana pemakaian tanda baca.
Sejarah Singkat Perkembangan Ejaan Bahasa Indonesia
Sistem ejaan di Indonesia yang menggunakan huruf latin dimulai sejak kedatangan orang Eropa ke Nusantara. Ejaan latin yang dipakai untuk bahasa Melayu dan bahasa Indonesia sejak abad ke-16 mengalami perubahan berkali-kali. Pada mulanya, setiap penulis buku mempunyai aturan sendiri untuk menuliskan vokal, konsonan, kata, kalimat, jeda, dan sebagainya. Jadi, kita dapat membayangkan betapa sulitnya mengajarkan bahasa Melayu dengan sistem ejaan yang berlainan itu.Hal tersebut menjadi lebih ruwet lagi karena bahasa Melayu digunakan di Hindia Belanda (Indonesia) yang dijajah Belanda, dan Tanah Semenanjung (Malaysia) yang dijajah Inggris. Dengan demikian, cara mengeja bahasa Melayu pun dipengaruhi oleh bahasa penjajahnya, yaitu bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Oleh karena itu, pada tahun 1987 A.A.Fokker, Sr. mengusulkan penyeragaman ejaan melayu dengan huruf latin di dua daerah jajahan tersebut. Pada tahun 1901 Ch.A. van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma’mur dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun sebuah sistem ejaan guna mengakhiri kekacauan ejaan sampai saat itu di Hindia Belanda. Ejaan itu dimuat dalam buku Kitab Logat Melajoe. Ejaannya dikenal dengan nama Ejaan van Ophuijsen.
Dua tahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Soewandi, menetapkan penyusunan ejaan yang lebih sederhana daripad Ejaan van Ophuijsen. Ejaan itu diberi nama Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi. Inisiatif Soewandi untuk menyederhanakan dan menyelaraskan ejaan dengan perkembangan bahasa mendapat sambutan baik.
Masalah ejaan muncul kembali ketika diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia Kedua di Medan pada tahun 1954. Dalam kongres itu diputuskan membentuk sebuah panitia yang menyusun peraturan ejaan bahasa Indonesia yang praktis. Pada tahun 1957 panitia ini berhasil menyusun sebuah ejaan yang dinamakan Ejaan Pembaharuan.
Selanjutnya pada tahun 1959 terjadi kesepakatan antara Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu (Malaysia) untuk menyamakan ejaan bahasa di kedua negara itu. Konsep ejaan yang disusun dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Namun, karena terjadi konfrontasi dengan Malaysia, peresmian ejaan ini diurungkan. Setelah masa konfrontasi dengan Malaysia, usaha penyamaan ejaan tahun 1959 dihidupkan kembali. Pada tahun 1972 Presiden RI menetapkan ejaan baru yang bernama Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Ejaan inilah yang kita pakai hingga saat ini. Pada tahun 1972 itu juga pemerintah Malaysia meresmikan Ejaan Baru Bahasa Malaysia. Walaupun namanya berlainan, pada intinya kedua ejaan itu sama.
Perlu juga diketahui bahwa Ejaan Pembaruan 1957, Ejaan Melindo, dan Ejaan Baru 1966 belum pernah diresmikan. Namun, antara Ejaan Baru 1966 dan EYD 1972 terdapat persamaan dalam pemakaian huruf. Perbedaan keduanya hanya terletak pada perincian kaidah-kaidahnya saja.
Berikut ini adalah tabel perbandingan ejaan bahasa Indonesia dari waktu ke waktu:
Prinsip dalam Penyusunan Ejaan Bahasa Indonesia
Dalam Bahasa Indonesia, ada 4 prinsip penyusunan ejaan yang perlu diketahui, yaitu:1. Prinsip Kecermatan
Sistem ejaan tidak boleh mengandung kontradiksi. Bila suatu tanda sudah digunakan untuk melambangkan satu fonem, maka tanda itu seterusnya dipakai untuk fonem itu.
2. Prinsip Kehematan
Diperlukan suatu standar yang mantap untuk menyusun suatu ejaan agar orang dapat menghemat tenaga dan pikirannya dalam berkomunikasi
3. Prinsip Keluwesan
Sistem ejaan harus terbuka bagi perkembangan bahasa di kemudian hari. Dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) ditetapkan penggunakan f untuk aktif, sifat, fakultas, dan sebagainya. Dalam ejaan Soewandi tidak ada ketepatan mengenai huruf f, v, z, sj, (EYD: sy), ch (EYD: kh), padahal selama ini lazim dipakai sifat, valuta, zeni, sjarat (EYD: syarat), chusus (EYD: khusus).
4. Prinsip Kepraktisan
Diusahakan untuk tidak menggunakan huruf-huruf baru yang tidak lazim agar tidak perlu mengganti mesin tik, komputer, gadget dan peralatan tulis lainnya. Penggunaan tanda diakritis lebih kurang praktis daripada penggunaan huruf ganda. Oleh karena itu, EYD mempertahankan huruf ganda ng, ny, sy, kh walaupun huruf-huruf ganda itu menggambarkan fonem tunggal. Pemakaian huruf ganda itu tetap dipertahankan mengingat prinsip kepraktisan untuk menggantinya dengan huruf baru atau menggunakan tanda diakritik.
Keempat prinsip itu disebut berurutan, tetapi pelaksanaannya saling melengkapi. Prinsip di atas diterapkan dalam penyusunan EYD. Hal itu merupakan salah satu kelebihan EYD bilang dibandingkan dengan sistem ejaan lain.
Referensi:
1. Judul Buku: Yes! Aku Lolos SBMPTN IPS/SAINTEK oleh Veronika Neni2. Judul Buku: Pesona bahasa: langkah awal memahami linguistik diedit oleh Untung Yuwono
3. Judul Buku: Big Book SBMPTN SOSHUM 2016 oleh Dewi Rossalia, M.Pd., Moch. Amin Mukhyiddin, Lusi Susilawati, Nurul Hudha, Alvina Kusuma, Muh. Amien, Adip M.S., Estiwi R.P., Yuli Pratiwi, Triyani, D. C. Ningsih
Demikian pembahasan lengkap tentang Pengertian, Sejarah, Prinsip Penyusunan Ejaan Bahasa Indonesia. Semoga bermanfaat! ^_^
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kepatuhannya melakukan komentar yang sopan, tidak menyinggung S4R4 dan p0rnografi, serta tidak mengandung link aktif, sp4m, iklan n4rk0ba, senj4t4 ap1, promosi produk, dan hal-hal lainnya yang tidak terkait dengan postingan. Jika ada pelanggaran, maaf jika kami melakukan penghapusan sepihak. Terimakasih dan Salam blogger!