Cerita Guru: Sekelumit Cerita tentang Guru
INIRUMAHPINTAR - Inilah - Cerita Guru: Sekelumit Cerita tentang Guru - Salah satu faktor penunjang keberhasilan dalam dunia pendidikan adalah kualitas kinerja pengajar. Apapun namanya: guru, dosen, guru besar, tutor, tentor, trainer, dsb, mereka dituntut tidak hanya menguasai bidang ilmu yang diajarkan tetapi juga diharapkan mampu memberikan pelayanan pendidikan yang baik dan teladan dalam bersikap dalam kehidupan sehari-hari.
Anehnya, kehadiran mereka dalam kelas terkadang belum mencapai predikat pantas menjadi “guru”. Kenapa demikian? Anak didik tampak hanya sekedar mendengarkan penjelasan atas materi pelajaran yang diberikan. Itupun kebanyakan hanya diperhatikan oleh anak didik yang “cerdas” dan berpredikat “rajin”. Atau karena alasan penghormatan kepada guru dengan sedikit keterpaksaan dalam hati.
Nah, Bagaimana dengan mereka yang “kurang cerdas” dan “malas” dengan berbagai faktor yang menyebabkannya? Akankah kita menyalahkan mereka? Tidak, Tugas guru “era modern” seharusnya tidak lagi bermodalkan gaya mengajar zaman dulu, memberikan materi dengan gaya monoton dan “menakutkan”, menghukum anak didik yang tidak memperhatikan, dsb.
Untuk era dulu, anak didik sangat haus dengan pendidikan, memiliki rasa hormat kepada guru, motivasi tinggi, dan belum adanya alternatif sumber pengetahuan. Maka, dengan segala keterbatasan alat tulis menulis yang dimiliki, mereka mampu menjadi pelajar yang hebat dengan kondisi guru yang seperti itu. Namun demikian, faktanya, inilah yang terjadi, penerapan metode mengajar gaya tempo “doeloe” untuk anak didik “modern” oleh guru-guru modern menjadi budaya yang masih sulit berevolusi. Padahal, andai ada sedikit kesadaran bahwa kini, dunia telah berbeda, perkembangan anak didik pun sangat cepat berubah, dan guru seharusnya pun harus berubah dan menyesuaikan diri.
Dalam pengajaran modern, peran yang sangat vital tetapi hanya dimiliki oleh guru-guru tertentu adalah kemampuan sebagai motivator. Peran ini dibutuhkan ketika anak didik merasa malas, kurang bergairah dalam belajar, atau memiliki kesulitan dalam mata pelajaran tertentu. Namun demikian, sadarkah kita, seberapa besar keinginan guru masa kini yang mau tahu kesulitan anak didiknya dan ingin ikut mengatasinya? Seberapa besar keinginan guru masa kini yang mau tahu apa kekurangannya dalam mengajar berdasarkan refleksi dari anak didiknya? Malah tidak sedikit dari mereka yang acuh tak acuh dengan hal ini.
Singkat cerita, mereka digolongkan guru berpredikat “sok pintar” dan “tak mau mengalah” dengan pengertian, mereka menganggap diri merekalah yang terpintar dan tidak mau mengakui jika suatu waktu mereka salah. Tidakkah mereka paham bahwa saat ini, dunia informasi dan pengetahuan bukan hanya bersumber dari guru saja, bisa saja dari internet, buku-buku, dan pengalaman dari anak didik. Jadi, jikalau ada diantara mereka yang lebih tahu tentang suatu materi dalam kelas, seorang guru seharusnya bijaksana dan bersikap elegan dengan mengakui kebenaran, tidak malah berbalik egois dan terkesan keras kepala. Ini tidak hanya mengurangi motivasi anak didik dalam mengikuti pelajarannya, tetapi mempengaruhi tingkat penghormatan kepada guru-guru yang bersangkutan. Jika ini berlanjut, coba tebak! Apa yang akan terjadi dengan pendidikan kita?
Selain itu, menjadi seorang guru tidak seharusnya dilatarbelakangi karena faktor finansial dan janji gaji yang cukup tinggi. Guru harus menghadirkan dirinya, lahir dan batin untuk pengabdian menjadi “Pahlawan Perubahan”. Selanjutnya, guru pun harus mengerti bahwa mereka memiliki tanggung jawab tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat.
Mereka mengajarkan ilmu yang bermanfaat untuk manusia, makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna dimana mereka pun akan hidup berdasarkan apa yang mereka dapatkan dari guru-gurunya. Mereka tidak boleh melewatkan kesempatan apapun untuk belajar lebih giat menjadi seorang guru yang berpredikat benar-benar sebagai “guru”. Tidak malah mengacukan kegiatan baik seperti seminar, MGMP, atau pertemuan positif antar guru dalam rangka peningkatan kualitas. Bukankah kegiatan seperti itu adalah momentum untuk berbagi saran, kendala maupun solusi dalam proses belajar mengajar. Apalagi jika mereka termasuk guru penerima gaji tambahan “sertifikasi” yang seharusnya mampu melakukan lebih sesuai gaji lebih yang diterimanya, dan tidak malah mempertahankan gelar MSD (Masih Seperti Doeloe). Jadi, sungguh sangat disayangkan jika peran itu tidak mampu mereka jalankan tetapi masih tetap dipertahankan menjadi seorang guru bersimbol sertifikasi. Dalam hal ini, pemerintah wajib melakukan kontrol dan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja para guru tanpa pandang bulu.
Akhirnya, marilah kita peduli dengan sekelumit masalah ini. Perbaikilah seleksi guru, perhatikan kesejahteraannya, tingkatkanlah kemampuannya, jalankan pengawasan yang kontinu dan ketat. Besar harapan ini semoga pendidikan nusantara bisa berjaya kembali! Aamiiin, Insya Allah. Salam Semangat!*_*
Anehnya, kehadiran mereka dalam kelas terkadang belum mencapai predikat pantas menjadi “guru”. Kenapa demikian? Anak didik tampak hanya sekedar mendengarkan penjelasan atas materi pelajaran yang diberikan. Itupun kebanyakan hanya diperhatikan oleh anak didik yang “cerdas” dan berpredikat “rajin”. Atau karena alasan penghormatan kepada guru dengan sedikit keterpaksaan dalam hati.
Nah, Bagaimana dengan mereka yang “kurang cerdas” dan “malas” dengan berbagai faktor yang menyebabkannya? Akankah kita menyalahkan mereka? Tidak, Tugas guru “era modern” seharusnya tidak lagi bermodalkan gaya mengajar zaman dulu, memberikan materi dengan gaya monoton dan “menakutkan”, menghukum anak didik yang tidak memperhatikan, dsb.
Untuk era dulu, anak didik sangat haus dengan pendidikan, memiliki rasa hormat kepada guru, motivasi tinggi, dan belum adanya alternatif sumber pengetahuan. Maka, dengan segala keterbatasan alat tulis menulis yang dimiliki, mereka mampu menjadi pelajar yang hebat dengan kondisi guru yang seperti itu. Namun demikian, faktanya, inilah yang terjadi, penerapan metode mengajar gaya tempo “doeloe” untuk anak didik “modern” oleh guru-guru modern menjadi budaya yang masih sulit berevolusi. Padahal, andai ada sedikit kesadaran bahwa kini, dunia telah berbeda, perkembangan anak didik pun sangat cepat berubah, dan guru seharusnya pun harus berubah dan menyesuaikan diri.
sumber: https://pixabay.com/en/class-classroom-teacher-burma-1459570/ |
Dalam pengajaran modern, peran yang sangat vital tetapi hanya dimiliki oleh guru-guru tertentu adalah kemampuan sebagai motivator. Peran ini dibutuhkan ketika anak didik merasa malas, kurang bergairah dalam belajar, atau memiliki kesulitan dalam mata pelajaran tertentu. Namun demikian, sadarkah kita, seberapa besar keinginan guru masa kini yang mau tahu kesulitan anak didiknya dan ingin ikut mengatasinya? Seberapa besar keinginan guru masa kini yang mau tahu apa kekurangannya dalam mengajar berdasarkan refleksi dari anak didiknya? Malah tidak sedikit dari mereka yang acuh tak acuh dengan hal ini.
Singkat cerita, mereka digolongkan guru berpredikat “sok pintar” dan “tak mau mengalah” dengan pengertian, mereka menganggap diri merekalah yang terpintar dan tidak mau mengakui jika suatu waktu mereka salah. Tidakkah mereka paham bahwa saat ini, dunia informasi dan pengetahuan bukan hanya bersumber dari guru saja, bisa saja dari internet, buku-buku, dan pengalaman dari anak didik. Jadi, jikalau ada diantara mereka yang lebih tahu tentang suatu materi dalam kelas, seorang guru seharusnya bijaksana dan bersikap elegan dengan mengakui kebenaran, tidak malah berbalik egois dan terkesan keras kepala. Ini tidak hanya mengurangi motivasi anak didik dalam mengikuti pelajarannya, tetapi mempengaruhi tingkat penghormatan kepada guru-guru yang bersangkutan. Jika ini berlanjut, coba tebak! Apa yang akan terjadi dengan pendidikan kita?
Selain itu, menjadi seorang guru tidak seharusnya dilatarbelakangi karena faktor finansial dan janji gaji yang cukup tinggi. Guru harus menghadirkan dirinya, lahir dan batin untuk pengabdian menjadi “Pahlawan Perubahan”. Selanjutnya, guru pun harus mengerti bahwa mereka memiliki tanggung jawab tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat.
Mereka mengajarkan ilmu yang bermanfaat untuk manusia, makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna dimana mereka pun akan hidup berdasarkan apa yang mereka dapatkan dari guru-gurunya. Mereka tidak boleh melewatkan kesempatan apapun untuk belajar lebih giat menjadi seorang guru yang berpredikat benar-benar sebagai “guru”. Tidak malah mengacukan kegiatan baik seperti seminar, MGMP, atau pertemuan positif antar guru dalam rangka peningkatan kualitas. Bukankah kegiatan seperti itu adalah momentum untuk berbagi saran, kendala maupun solusi dalam proses belajar mengajar. Apalagi jika mereka termasuk guru penerima gaji tambahan “sertifikasi” yang seharusnya mampu melakukan lebih sesuai gaji lebih yang diterimanya, dan tidak malah mempertahankan gelar MSD (Masih Seperti Doeloe). Jadi, sungguh sangat disayangkan jika peran itu tidak mampu mereka jalankan tetapi masih tetap dipertahankan menjadi seorang guru bersimbol sertifikasi. Dalam hal ini, pemerintah wajib melakukan kontrol dan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja para guru tanpa pandang bulu.
Akhirnya, marilah kita peduli dengan sekelumit masalah ini. Perbaikilah seleksi guru, perhatikan kesejahteraannya, tingkatkanlah kemampuannya, jalankan pengawasan yang kontinu dan ketat. Besar harapan ini semoga pendidikan nusantara bisa berjaya kembali! Aamiiin, Insya Allah. Salam Semangat!*_*
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas kepatuhannya melakukan komentar yang sopan, tidak menyinggung S4R4 dan p0rnografi, serta tidak mengandung link aktif, sp4m, iklan n4rk0ba, senj4t4 ap1, promosi produk, dan hal-hal lainnya yang tidak terkait dengan postingan. Jika ada pelanggaran, maaf jika kami melakukan penghapusan sepihak. Terimakasih dan Salam blogger!