INIRUMAHPINTAR - Puisi berjudul "Diam Untuk Bhinneka Tunggal Ika" merupakan sebuah ungkapan rasa kecewa atas segala bentuk ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan di negeri ini yang silih berganti merongrong sanubari, kepribadian dan nilai-nilai luhur serta budi pekerti budaya bangsa Indonesia. Rasa itu berkecamuk dalam satu jiwa dan nyaris terhempaskan dalam pertumpahan darah. Untungnya, rasa itu masih dikendalikan oleh sabar dan doa sehingga persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga seperti yang termaktub di dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Negeri ini tidak meminta banyak dan serakah atas harta Indonesia yang melimpah. Negeri ini hanya ingin hidup tenang, damai, dan seimbang dimana hukum ditegakkan, keadilan diutamakan, dan kesejahteraan diprioritaskan. Seluruh potensi Sumber Daya Alam Indonesia harus dimaksimalkan untuk kepentingan rakyat. Sebaik-baik sebuah negeri adalah yang mandiri, tanpa campur tangan pendatang asing dan bebas utang asing.
Negeri ini tidak meminta banyak dan serakah atas harta Indonesia yang melimpah. Negeri ini hanya ingin hidup tenang, damai, dan seimbang dimana hukum ditegakkan, keadilan diutamakan, dan kesejahteraan diprioritaskan. Seluruh potensi Sumber Daya Alam Indonesia harus dimaksimalkan untuk kepentingan rakyat. Sebaik-baik sebuah negeri adalah yang mandiri, tanpa campur tangan pendatang asing dan bebas utang asing.
sumber ilustrasi : pixabay.com |
Semoga puisi berjudul "Diam Untuk Bhinneka Tunggal Ika" berikut ini menjadi inspirasi para pejuang-pejuang bersih yang tersisa dari kenakalan zaman agar mengangkat kembali harkat dan martabat bangsa Indonesia.
PUISI Diam Untuk Bhinneka Tunggal Ika - AHN RYUZAKI
PUISI Diam Untuk Bhinneka Tunggal Ika - AHN RYUZAKI
Dulu kami diam saja, berkawan pacul di ladang kami hingga senja,
Dulu kami diam saja, berbekal kata mengungkap fakta dan logika,
Dulu kami diam saja, berdagang sayur dan buah dengan untung seadanya,
Dulu kami diam saja, bertangan pena mengajar anak-anak kami tulis baca,
Dulu kami diam saja, bertatap kanvas melukiskan harapan kami senantiasa,
Dulu kami diam saja, berpayung panas ke samudera dengan sampan sederhana,
Akankah kami diam saja, jika ladang kami kini kamu biarkan kering tak berharga?
Akankah kami diam saja, jika dalam pesan kami kamu tak pernah memetik makna?
Akankah kami diam saja, jika di pasar-pasar kami begitu bebas kamu bermain harga?
Akankah kami diam saja, jika anak-anak kami kamu paksakan dengan pendidikan ujicoba?
Akankah kami diam saja, jika lukisan bahagia kami kamu biarkan menjadi potret metafora?
Akankah kami diam saja, jika hasil laut kami kamu lenyapkan dengan limbah dimana-mana?
Wahai nusantaraku, kemana orang tua bangsamu yang katanya bijaksana?
Mengapa petuahnya begitu lambat meramu alam kaya menjadi sejahtera merata?
Wahai negeriku, kemana wakil rakyat jelatamu yang katanya pandai bicara?
Mengapa aspirasi kami terkadang tak sampai hanya karena buta harta dan tahta?
Wahai tanah airku, kemana para cendekiamu yang katanya cakap berkarya?
Mengapa pembangunan kota maupun desa begitu mudah teraniaya mafia?
Wahai Indonesiaku, kemana putra-putrimu yang beretika dan bersahaja?
Mengapa begitu mudah terjerumus dunia malam, bermain panah dan nark0ba?
Dulu kami diam saja, karena kepada tangan-tangan kalian kami percaya!
Kini pun kami tetap diam berdoa, karena jiwa kami bhinneka tunggal ika!
Semoga kami tetap diam saja, hingga kami merasa merdeka sebenarnya!
Watansoppeng, 7 Oktober 2014
Makna Puisi
Di bait pertama, penulis menggambarkan bagaimana perawakan nyata masyarakat Indonesia dari berbagai profesi. Mereka yang bekerja sebagai petani, khususnya di pelosok-pelosok, menampilkan cintanya ke bangsa ini dengan bekerja dari pagi hingga sore hari. Begitu juga dengan profesi-profesi lain, seperti para guru. Mereka mengajar dengan gelar pahlawan tanda jasa. Padahal negara harus malu jika jasa mereka tidak dihargai dengan seminimal-minimalnya kesejahteraan.Selanjutnya, masih di bait pertama profesi-profesi seperti pedagang dan nelayan bekerja sesuai kapasitas mereka. Mereka tidak ingin membebani bangsa yang diperjuangkan pendahulunya di masa perjuangan kemerdekaan. Setelah merdeka, mereka memilih diam saja dengan pacul, pena, sampan, dan dagangan mereka. Padahal andai mereka ingin bicara, begitu banyak kegelisahan di dadanya. Mereka yang seharusnya hidup mapan dan sejahtera setelah Indonesia merdeka justru harus mengais nasi di negeri lumbung padi (mestinya). Jadi, apa yang salah? semua kembali ke pemimpin dan penguasa, sebagai pemangku kebijakan dimana semua amanah rakyat bertumpu. Namun, sepertinya semua cita-cita bangsa masih stagnan bagai aliran air yang dibiarkan mampet.
Sawah-sawah yang menghampar dari Sabang sampai Merauke tidak lagi mampu menopang kebutuhan pangan penduduk Indonesia. Harga-harga barang kebutuhan pokok pun terkadang masih tidak terbendung. Bahkan cangkul-cangkul impor pun dibiarkan terjun ke Nusantara, produk yang sesungguhnya bisa diproduksi sendiri. Di dunia pendidikan, kurikulum silih berganti diujicobakan. Tiap ganti menteri, kurikulum berubah. Kualitas guru-guru pun makin memprihatinkan dan tidak merata. Laut-laut yang menjadi ladang pelaut-pelaut ulung bangsa ini dicemari limbah yang entah menguntungkan siapa. Mengapa? Siapa yang membiarkan? Mengapa dibiarkan? Seakan hanyalah kelompok-kelompok tertentu saja yang mendulang sukses. Tepatnya, suskes di atas penderitaan rakyat jelata. Jika dibiarkan, semua kesenjangan ini akan mengganggu semangat Bhinneka Tunggal Ika yang mempersatukan negeri ini.
Dengan demikian, tanpa diminta, baiknya seluruh pemangku kebijakan yang diberi amanah tanpa seruan harus bekerja lebih keras, jujur, amanah, dan profesional. Mereka harus meningkatkan integritas tanpa diberi aba-aba. Karena jika bermain-main dengan jabatan dan tanggung jawab, tinggal menunggu waktu, akan diturunkan oleh kehendak Allah secara langsung maupun tidak langsung. Salah satunya dengan penindakan langsung dari rakyat. Andai mereka ingin bergerak dan angkat bicara, semua tidak sulit. Untungnya, mereka tetap mendahulukan diam dan berdoa yang terbaik. Semoga bangsa ini segera melenyapkan manusia-manusia bayangan yang mengaku orang Indonesia tetapi hanyalah mementingkan diri, kelompok, kepentingan sendiri, dengan menghalalkan segala cara dan mengorbankan saudara sebangsa dan setanah airnya.
Keren puisi nyaa. Nyenyak banget. Cocok banget buat yang suka baca puisi. Atau pecinta puisi. Tapi sayang,.. Kok ngga bisa dikelas ya. Hanya untuk sekedar referensi.
ReplyDelete